Lihat ke Halaman Asli

hengki parahate

guru/Yayasan Kanisius Cabang Semarang/SMP Kanisius Budi Murni Weleri - Kendal, Jawa Tengah

Indonesia; Negara di Ujung Kegagalan

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menonton salah satu siaran televisi  dengan “Indonesia menuju Negara di Ujung Gagal”, terlintas pemikiran yang mengutarakan persepsi secara pribadi yang cenderung setuju dengan judul dialog tersebut. Akan tetapi rasa-rasanya saya sudah sangat jenuh dan bosan mendengarkan cerita yang memilukan tentang kondisi masayarakat di negara ini. Keputusannya, saya lewatkan begitu saja acara tersebut.

Namun demikian, ketika bangun tidur dan langsung membuka Fb dan membaca status dari teman-teman ternyata hanya ada satu teman saya yang mengangkat kembali tema tersebut dalam statusnya, entah apa motivasinya. tetapi saya salut dengan kawan itu, ternyata dari sekian banyak rekan muda yang berteman di Fb hanya dia seorang yang mau menyinggung kembali isu tersebut dalam media sosial itu. Maka saya masih percaya bahwa negeri ini masih ada harapan untuk bangun dari keterpurukan oleh karena ada orang2 seperti kawan saya yang ternyata masih peduli akan nasib bangsanya sendiri. Maklum saja, pemuda kita di jaman sekarang ini lebih bersikap apatis dengan persoalan yang membelit bangsanya.

Kembali lagi ke tema tentang Indonesia; Negara di Ujung Kegagalan. Sekilas saya berfikir judul tersebut begitu lugas dalam membungkus persoalaan pelik yang melanda bangsa ini dan  telah  gagal dituntaskan oleh negara. Saya berfikir bahwa sebenarnya kurang apa bangsa dan negara ini dalam keadaanya. Segala potensi sumber daya alam, sumber daya manusia bahkan ideologi yang begitu luhur Pancasila.

Saya setuju dengan para politisi kita dengan  pandangan politik yang menyatakan bahwa bangunan bangsa dan negara ini harus berdiri dan ditegakkan dalam empat pilar utama yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya saja, aktualisasi dari keempat pilar tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita masih jauh dari harapan. Kegaduhan politik yang begitu luar biasa antar partai politik hari - hari ini telah mengebiri demokrasi yang menjadi jargon politik mereka. Toh pada kenyataanya rakyat hanya dijadikan obyek demi politik kekuasaan. Politik kita adalah politik bernegara yang kotor dan paling busuk.

Segala potensi yang ada di negeri ini sebenarnya sudah disediakan oleh cuma2 oleh Tuhan Yang Esa dengan segala kelimpahannya.Bahkan saya berfikir jangan - jangan bangsa ini adalah bangsa pilihan, karena memang begitu mengagumkan keberadaanya. Apa yang tidak ada di Bumi Pertiwi?. Sejarah membuktikan, betapa bangsa2 eropa berlomba-lomba untuk menemukan tanah air kita ini karena kelimpahan kekayaan yang begitu luar biasa.Hanya sayang, kelimpahan ini tidak dengan baik dikelola oleh negara untuk kepentingan bangsa dan rakyatnya sendiri. Para elite politisi kita adalah para komparador kepentingan asing yang ingin meraup sebanyak-banyaknya keuntungan dari kekayaan negeri ini melalui penjajahan secara ekonomi. Kebusukan keserakahan ekonomi yang dibungkus dalam globalisasi dan liberalisasi adalah tonggak kehancuran ekonomi kita. Mungkin ini yang dimaksud oleh Soekarno dengan apa yang disebut dengan neoliberalisme dan neokolonialisme yang ternyata lebih efektif dalam melakukan penghisapan atas kekayaan bangsa dan negara di tanah air kita. Dampaknya, rakyat masih saja miskin dan berkubang dalam kebodohan yang tersistem.

Kesesatan Trias Paradigma adalah sumber kekacauan yang sesungguhnya.

Menurut Dr. Hidayat Nataatmadja, dalam dunia modern dewasa ini ada tiga bentuk paradigma yang berpengaruh dalam kultur masyarakat kita. Ketiga paradigma tersebut adalah Paradigma agama, paradigma ilmu pengetahuan dan paradigma ideologi. Saya berfikir tidak ada yang salah dengan ketiga paradigma tersebut, hanya saja dalam prakteknya ketiga paradigma tersbut tidak dapat salaing mendukung melainkan justru malah saling bertentangan satu dengan yang lain.

Paradigma adalah sebuah azas pandangan yang dianggap benar oleh sendirinya. Sehingga aktualisasi paradigma tersebut ditekankan pada metode bukan pada nilai yang terkandung di dalam masing2 muatan paradigma tersebut. Saya menduga bahwa kondisi ini terjadi oleh karena banyak orang yang tidak memahami nilai. Konsepsi-konsepsi yang dibangun dan digunakan sebagai kajian teoritis mereka hanya merupakan ‘gelembung udara yang hampa’. Jadi saya berfikir para elit politik kita saat ini sedang melakukan lawakan dan berakting saja, karena mereka sesungguhnya tidak pernah tahu apa yang sedang mereka lakukan dalam politik dengan landasan konsep ‘gelembung udara’ yang mereka yakni sebagai kebaikan bagi kelompoknya dan bukan sebuah kebenaran yang hakiki.

Sehingga pada dasarnya bangsa in sudah gagal. Kenapa kita baru merasa bahwa kita sedang menuju kapada sebuah kegagalan?

Pendidikan Sebagai Pondasi Pembangunan

Bangsa dan negara ini sudah gagal dalam mengelola dan menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya sendiri, karena kebebalan para manusia komparador para elit politik kita. Menurut hemat saya sudah saatnya kita berevolusi dengan mengganti para generasi tua yang hari ini mengacau dengan generasi muda yang lebih konkret memberikan solusi perubahan dalam kekacauan dalam masyarakat dan tidak hanya beretorika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline