Lihat ke Halaman Asli

Rendahnya Literasi Hukum, Picu Mudahnya Kriminalisasi

Diperbarui: 17 Mei 2017   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hukum - ketidakpuasan terhadap proses peradilan semakin terang-terangan diungkapkan beberapa pihak yang merasa kepentingan dirugikan atau merasa terjadi ketidakadilan. Kondisi tersebut memperlihatkan proses peradilan yang tidak lagi sakral dimana notabene dipimpin oleh majelis hakim yang diibaratkan sebagai tangan Tuhan.  Akibatnya, timbul kegaduahan dan keresahan akibat pihak yang tidak puas mengambil tindakan diluar koridor hukum, seperti melakukan aksi pengumpulan masa secara masif dengan tujuan agar suatu aspirasi dikabulkan oleh pemerintah (penguasa). Dan, kondisi tersebut bagaikan bola salju yang terus bergulir yang berpotensi berdampak destruktif pada tatanan bangsa dan negara Indonesia.

Istilah Kriminalisasi merupakan salah satu perbuatan yang paling mengundang sorotan publik. Namun, istilah Kriminalisasi (KBBI) sebenarnya memiliki arti sebagai proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Atas definisi tersebut, kriminalisasi dapat dipahami sebagai proses mengakomodasi kondisi sosial untuk dapat menerapkan suatu hukum pidana terhadap suatu perbuatan yang belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Istilah kriminalisasi yang ditampilkan diberbagai media menunjukan konotasi negatif. Dimana kriminalisasi dipandang sebagai upaya untuk menjerat suatu pihak dengan hukum pidana. Isu hangat yang beredar akhir-akhir ini adalah terkait dengan kriminalisasi ulama terutama yang terkait dengan aksi-aksi menuntut percepatan proses penyelesaian kasus penistaan/ penodaan agama. Atas kondisi tersebut, yang ingin disampaikan oleh pihak tersebut terkait kriminalisasi adalah "kriminalisasi dalam pandangan pihak tersebut sebagai upaya menjerat dengan menggunakan hukum pidana atas suatu perbuatan yang tidak dilaksanakan atau merupakan rekayasa." Apabila yang dimaksud kriminalisasi adalah menjerat orang yang tidak bersalah, wajar apabila timbul pandangan kriminalisasi sebagai suatu hal yang negatif. Namun, apabila dilihat dari teori serta definisi secara hukum, kriminalisasi merupakan suatu bentuk terobosan hukum atas terjadinya kekosongan hukum yang memungkinkan seseorang yang secara fakta bersalah, tetapi secara peraturan perundang-undangan belum diatur sehingga ada kemungkinan dapat dibebaskan tanpa pertanggungjawaban. Dan proses kriminalisasi didasarkan kepada norma-norma sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat.

Istilah yang digunakan untuk menggambarkan jerat hukum terhadap seseorang yang sebenarnya tidak bersalah adalah "rekayasa kasus." Jadi rekayasa kasus adalah kondisi dimana seseorang dibuat seolah-olah melakukan suatu tindak pidana yang sebenarnya tidak dilakukan, tetapi secara yuridis dibuat seolah-olah unsur-unsur pelanggaran pidanannya terpenuhi sehingga implikasinya dapat dilanjutkan proses peradilan dan dapat dijatuhi suatu hukuman. 

Rekaya kasus tentu menimbulkan keresahan terkhusus apabila rekayasa kasus digunakan penguasa untuk menjerat pihak-pihak yang bersebrangan pendapat atau yang dianggap merugikan atau mengancam kekuasaan. Dalam kacamata saya, rekayasa kasus sebenarnya dapat diminimalkan apabila hukum yang digunakan sebagai alat untuk menjerat dapat dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Meskipun, belum ada angka yang jelas namun tingkat literasi hukum (melek hukum) di Indonesia masih rendah. Rendahnya literasi hukum terlihat dari mudahnya masyarakat terjerat pidana karena memenuhi suatu kualifikasi dikatakan melanggar undang-undangan. Meskipun, perbuatan yang dilakukan dapat digolongkan sebagai perbuatan yang dapat diterima masyarakat. Sebagai contoh: kasus nenek minah, dimana warga masyarakat yang hanya mengambil 3 buah kakao yang jika ditaksir secara nilai rupiah tidak begitu bernilai. Namun, tindakan tersebut secara hukum pidana memenuhi kualifikasi sebagai pencurian sehingga nenek minah dijatuhkan pidana. Kasus yang terbaru yang menimpa penjual jagung asal Cianjur yang mengumpulkan cacing Sonari di kawasan Konservasi Gunung Galunggung prosesnya saat ini masih berjalan. Dan, tokoh nasional Ahok juga ikut terjerat hukum pidana atas perkataan lisan terlepas dari maksud da tujuan, namun karena terpenuhi kualifikasi dalam hukum pidana. Pihaknya dijatuhi hukum pidana.

Jerat hukum pidana tanpa rekaysapun tanapa didasari telah menjerat masyarakat Indonesia, apalagi jika jerat hukum pidana disertai dengan rekayasa kasus. Tidak ada cara untuk terhindar dari jerat hukum pidana. Namun, ada cara untuk meminimalkan resiko terjerat sanksi pidana baik karena melakukan perbuatan yang memenuhi kualifikasi hukum pidana ataupun menjadi korban rekayasa kasus. 

Sekali lagi upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan literasi hukum di negeri ini. Dan untuk mewujudkan itu harus diwujudkan oleh seluruh elemen bangsa. Tentu sebenarnya bangsa ini tidak kekuarangan ahli hanya saja perlu berbagi ilmu untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara dengan hukum sebagai Panglima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline