"Langit tak selamanya tenang, ada kalanya petir datang menyambar pesawat yang sedang kita tumpangi. Untuk itu, kita harus selalu siap sedia bilamana pesawat dalam kondisi bahaya."
***
Pesawat itu bernama kondisi sistem keuangan. Kondisi sistem keuangan haruslah selalu dijaga agar tetap stabil. Masih terekam jelas dalam ingatan dimana pandemi covid-19 datang secara tiba-tiba memberikan dampak yang begitu terasa.
Tidak hanya meluluhlantakkan perekonomian negara, melainkan meluas hingga ke bidang sosial dan politik. Tingkat pengganguran dan kemiskinan melonjak tajam.
Tak ayal, stabilitas sistem keuangan yang selama ini dijaga oleh Bank Indonesia dengan kebijakan makroprudensial pun sedikit terganggu.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) merosot, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, ekspor terhambat, dan berkurangnya kepercayaan investor menjadi dampak nyata bagi perekonomian Indonesia.
Puncaknya, pada Maret 2020 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok sebesar 64% year-on-year ke titik 4.194, yang merupakan all-time low dalam 5 tahun terakhir.
Seperti kita tahu, berbagai kebijakan akomodatif lantas dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai upaya mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional, mulai dari rasio countercyclical capital buffer sebesar 0%, rasio intermediasi makroprudensial pada kisaran 84 -- 94%, hingga ketentuan relaksasi loan to value atau uang muka 0% untuk kredit properti dan kendaraan bermotor.
Sejatinya, Bank Indonesia memang memiliki tugas menjaga stabilitas sistem keuangan dengan fungsinya sebagai Lender of Last Resort.
Sebagaimana Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014, Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial untuk mencegah risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.