Korupsi sudah menjadi fenomena yang sistemik di negara kita. Karena sifatnya sistemik, maka cara untuk memberantasnya bukan dengan top-down (mencukupkan dengan menangkap para pelaku korupsi), namun pemberantasannya harus dimulai mulai dari pendidikan TK sampai universitas. Tulisan singkat ini fokus pada cara pemberantasan korupsi pada level pendidikan di universitas. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh universitas -dalam hal ini adalah dosen- untuk memberantas korupsi, yaitu:
Usahakan datang ke kelas on-time dan selesaikan kelas sesuai jadwalnya (tidak selesai lebih awal), kecuali jika ada tugas dari kampus yang bertabrakan dengan jadwal kuliah.
Mohon maaf, bayaran dosen dalam mengajar tergantung SKS yang dia ampu. Sesuai aturan yang berlaku (khususnya di instansi tempat saya mengajar), 1 SKS durasinya adalah 50 menit. Sehingga jika mengajar 1 matakuliah dengan porsi 3 SKS, maka total ia mengajar sehari untuk matkul tersebut adalah selama 3x50 menit (150 menit). Gaji dosen dihitung dari perhitungan tersebut. Dengan demikian, ketika ia digaji untuk mengajar selama 150 menit, namun ia hanya mengajar selama 120 menit, berarti ia telah korupsi waktu selama 30 menit. Mahasiswa yang terbiasa melihat praktik seperti ini lama-lama akan biasa, dan mereka akan mencontohnya pada kehidupan karir mereka setelah lulus.
Buat sistem yang membedakan antara mahasiswa yang amanah waktu dengan yang tidak.
Dikelas yang saya ampu, mahasiswa diberikan kesempatan untuk bolos selama maksimal 2x. Mereka yang absen lebih dari 2 sampai 3x akan dikurangi nilai kedisiplinanya. Sedangkan jika absen lebih dari 4x akan langsung gagal dalam perkuliahan dan harus mengulang pada semester depan. Absen lebih dari 4x tanpa alasan darurat (misal: sakit) menunjukkan sikap yang tidak amanah dari mahasiswa (korupsi waktu). Dosen harus memberantas perilaku mahasiswa yang seperti ini. Jangan heran jika saat ini banyak karyawan baik swasta maupun negeri yang suka ngacir pada jam kerja. Dulu ketika jadi mahasiswa besar kemungkinan suka tidak amanah terhadap waktu.
Buat sistem penilaian yang menekankan pada proses bukan hasil.
Dikelas saya, ujian secara total hanya memiliki porsi 25% (10% UTS dan 15% UAS). Sisanya sebanyak 75% adalah proses baik didalam maupun diluar kelas.
Banyak kita dapati sistem penilaian di kampus-kampus yang menekankan pada hasil (50%-80% penilaian hanya pada UTS dan UAS). Konsekuensinya, akan ada mahasiswa yang tidak pernah ikut perkuliahan sama sekali (titip absen, atau hanya finger print) namun bisa ikut ujian. Sehingga masih memungkinkan mahasiswa korup seperti ini untuk lulus mata kuliah tertentu tanpa berproses. Hasilnya, mahasiswa lebih mengedepankan hasil daripada proses. Sadar atau tidak, DNA koruptor terbentuk saat menjadi mahasiswa seperti itu. Koruptor dimana-mana adalah orang-orang yang mau dapat hasil maksimal (banyak) dengan proses yang minimal.
Tegas terhadap mahasiswa pelaku plagiarisme.
Dosen harus sadar bahwa kemudahan teknologi saat ini membuka peluang mahasiswa untuk asal googling, copying dan pasting. Perilaku seperti itu adalah perilaku korup yang mengutamakan hasil daripada proses. Dosen harus memberikan aturan dan batasan terkait copy-paste, dan wajib membaca setiap tugas yang dikumpulkan. Jika tidak memungkinkan untuk membaca seluruh tugas, gunakanlah software pendeteksi plagiarisme yang saat ini sudah banyak versinya.
Mahasiswa yang tugasnya hasil copy-paste harus mendapatkan hukuman yang berat (gagal dalam mata kuliah/mendapat surat teguran dari dekan/dikeluarkan dari universitas). Sayangnya banyak dosen yang tidak berani dalam hal ini, karena niat mereka mengajar bukan untuk mendidik mahasiswa tapi untuk mendapat simpati mahasiswa. Image dimata mahasiswa lebih baik dan didahulukan daripada integritas terhadap aturan.