Lihat ke Halaman Asli

Hendy Adinata

Sukanya makan sea food

Hari Kematian Orang Tua, Sudah Siapkah?

Diperbarui: 15 Oktober 2017   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dalam segala jaman, berpisah dengan orang yang dicintai merupakan saat-saat paling mengharukan, paling sedih dan paling tidak diinginkan. Mengapa disebut perpisahan? Sederhananya ya karena ada seseorang yang pergi. Kepergian yang paling panjang dan menyedihkan adalah kematian. Setujukah pembaca dengan kalimat ini?

Setiap manusia menyadari bahwa suatu hari nanti dirinya akan mati, tetapi tak seorang pun tahu kapan persisnya itu terjadi, pada saat dia umur berapa, lagi di mana, sedang apa dan seterusnya. Pengecualian untuk mereka yang dipidana mati (sudah tahu waktu eksekusi), penderita HIV/AIDS atau penyakit mematikan lain yang belum ada obatnya, dan para lansia yang kondisinya sudah payah.

Selain ketidakpastian di atas, saat ini pun manusia terlalu dibuai oleh kesenangan hidup (hedonisme), mereka berlomba-lomba mengumpulkan harta benda dunia, menghalalkan segala cara demi kehormatan setinggi-tingginya, maka manusia cendrung lupa akan dirinya sendiri, lupa akan kesehatannya, lupa akan hidupnya dan lupa bahwa orang-orang di sekitarnya tidak selamanya berada bersama dia. Sampai maut datang ke rumahnya, mereka menjadi terkejut, tercengang, dan menangis menyesali kepergian orang itu. Menangisi karena kepergian seseorang yang terlalu cepat kah?

Penulis pernah berpikir pada waktu penulis masih usia taman kanak-kanak, "Suatu saat kalau kakak yang membantu di rumah (pembantu) telah pergi, bagaimana ya jadinya?" Penulis tidak tahu dapat firasat dari mana, tetapi pikiran semacam itu tiba-tiba muncul. Pikiran ini pun terjawab beberapa minggu kemudian, anak TK ini menangis sejadi-jadinya, tidak menginginkan perpisahan. Sedih sekali karena kakak itu harus pergi. Penulis akui rasa sayang yang terlampau sayang membuat penulis tidak rela kehilangan dia, sampai-sampai ayah pun marah.

Pernah juga penulis memelihara seekor anjing betina, warnanya hitam dengan les warna cokelat dan dipanggil Kubi (nama yang standar lah). Anjing ini kemudian hari mengandung dan melahirkan 6 ekor anak yang lucu-lucu nan menggemaskan. Akhirnya penulis beserta adik mengambil masing-masing 1 anak anjing, yang jantan berwarna cokelat diberi nama Gobi dan yang betina berwarna putih diberi nama Cika. Wah, anak anjing ini gemuk-gemuk karena kami sangat sayang sekali. Porsi makan berdua ini berbeda dari yang lainnya. Di mana sang induk berada, kami selalu membawa 2 ekor kesayangan kami ini untuk disusui sang induk. Pokoknya cinta secinta-cintanya.

Dikarenakan rumah tempat kami memelihara adalah rumah toko, dan malah pernah kejadian seorang pembeli digigit oleh induk anjing kami (waktu itu hujan, dan sang pembeli memakai jaket hitam dan berhelm), maka sangat tidak memungkinkan untuk memelihara anjing di rumah, apalagi dalam jumlah yang tidak sedikit. Maka, anak anjing yang kami pelihara pun tidak diperbolehkan tinggal di rumah karena dinilai terlalu banyak. Oleh seorang bibi yang galak, anjing kami terpaksa kami berikan kepada om untuk menjaga rumahnya yang sedang dalam proses pembangunan, sedang yang lainnya diberikan pada orang lain. Anak anjing kami nanti akan menjaga di rumah om kalau rumahnya sudah jadi. Saat itu anjing kami telah berumur 3 bulan dan gemuk-gemuk, rumah om masih dalam pembangunan.

Dengan tidak rela dan air mata, kami memberikan anak anjing kami. Mereka diangkut dengan mobil pickup dan kami ikut bersamanya. Hampir setiap hari kami pasti mengunjungi anak anjing kami, karena rumah om tidaklah terlampau jauh, masih dapat dijangkau. Jika melihat kami datang, cepat berdua itu menggonggong, lompat dan lari ke arah kami, kami sangat senang karena rindu kami terobati. Kami akan habiskan hampir 1 jam bermain di situ. Akan tetapi sayang, leher mereka dirantai sehingga mereka tidak bebas. Sampai suatu ketika kami dapati anak anjing kami sakit, berdua itu murung, tidak selincah beberapa minggu yang lalu, buang air besarnya pun beda, "berbusa dan encer" maka kami sedih sekali. Kata orang-orang sih karena diracun. Ada juga yang bilang perlu divaksin karena masih kecil.

Dan hari-hari menyedihkan itu pun datang. Ketika penulis datang pada waktu magrib, penulis tidak melihat Gobi bangun, sedangkan Cika menggong-gong, dan riang. Dengan firasat tidak enak, penulis memegang tubuh Gobi yang terbaring, badannya. dingin, kaku, mulutnya tidak tertutup, tahulah penulis jika Gobi mati! Maka dari itu penulis membawa Gobi pulang dengan sepeda sambil panik dan menangis tidak percaya. Sesampainya di rumah, adik penulis juga menangis, tangisnya kencang sekali, kasihan sekali "Mengapa Gobi yang mati!" sambil mengutuki bibi kami yang galak dan tega merampas anak anjing itu dari kami "Kalau ndak dikasi waktu itu kan sekarang dia ndak mati! Huuuu huuuuu." sedih sekali.

"Anjing itu untuk disuka, bukan untuk disayang!" ini adalah kata-kata bibi galak yang masih penulis ingat sampai saat ini! Singkat cerita mayat Gobi pun dibuang ke sungai, kami tidak diijinkan untuk lihat. Tidak ingin nasib Cika demikian, penulis pun menjemput Cika pulang. Anjing itu senang bukan main sesampainya dirumah, tetapi malang hanya satu jam saja saat itu karena malam itu Cika dibawa paksa oleh bibi galak. Dan seminggu setelah itu, Cika tidak terlihat lagi di tempat om, menurut kakak yang tinggal di situ, Cika mati. Penulis dan adik berduka sekali, kehilangan anjing-anjing kesayangan yang kami rawat dengan cinta kasih tulus seorang kanak-kanak selama 3 bulan. Malah sang induk anjing juga dibunuh pada saat penulis sekeluarga sedang liburan, dan otak pembunuhannya adalah orang yang sama, bibi!

Setiap hari ada saja anak-anak yang dilahirkan dan setiap hari banyak pula orang-orang yang meninggal. Lahir dan mati adalah masalah biasa dalam kehidupan. Meskipun begitu, banyak perbedaan besar dalam menanggapi kedua fenomena ini. Peristiwa kelahiran biasanya mendatangkan sukacita, senyuman lebar, dan ucapan selamat. Sebaliknya kematian umumnya disambut dengan dukacita, air mata, kain kabung, dan ucapan belasungkawa.

Jika pada hewan saja kita bisa sebegitunya sayang dan merasakan kehilangan, apalagi kepada manusia, terlebih kepada keluarga dan orang yang dicintai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline