Setiap kali berpergian ke pantai, laut tetap saja biru dan airnya tak pernah kering. Litoralnya selalu terisi, tempat ribuan spesies akuatik menjalani hidup mereka. Spesies porifera, coelentrata, dan beberapa arthropoda merupakan warga tetap lautan. Meskipun mereka tidak mengenal E-KTP ataupun identitas sejenis lainnya, namun bentos dan nekton harus rela berbagi tempat tinggal dengan hewan invertebrata tersebut. Menurut data Census of Marine Life[1] bahwa laut dunia dihuni oleh 950.000 spesies (jenis). Dan dari jumlah tersebut, 200.000 spesies telah diidentifikasi dan dideskripsikan, sementara sisanya masih dalam proses. Itu artinya, jika laut kering, bisa dipastikan bumi akan kehilangan 950.000 spesies yang ada di laut. Belum lagi dampak yang diakibatkan oleh ketiadaan spesies-spesies tersebut, termasuk bagi manusia. Beberapa sumber makanan manusia berasal dari laut seperti ikan. Dan jika ikan sampai punah, manusia pun akan kehilangan sebagian makanan yang mengandung protein tinggi. Oleh karena itu, suatu kebahagian hingga saat ini, bila laut masih berair. Indonesia adalah salah satu Negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulau 17.480 pulau. Sehingga Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km (data PBB: 2008). Itu artinya setiap warga Negara yang tinggal di Indonesia, dapat melihat gagahnya laut dengan mudah. Sudah barang tentu, setiap warga yang tiggal di Indonesia seharusnya memiliki rasa bahagia ketika melihat laut, karena laut tidak pernah kering. Air laut tidak pernah berkurang meskipun dia harus mengisi palung Mariana (palung terdalam di Bumi) sedalam 11 kilometer. Dan air laut pun tidak pernah berkurang walaupun harus mengisi 165.385.450 km2 lautan pasifik (hampir separuh luas permukaan bumi). Sampai sekarang, masih menjadi perdebatan tentang volume air yang ada di bumi. Sebagian kalangan mengatakan bahwa volume air di bumi tetap namun sebagian lagi mengatakan bahwa volume air tidak tetap. Menurut United States Geological Survey (USGS)[2], banyaknya air di bumi jika dibentuk menjadi bentuk bola, maka akan menjadi bola yang berdiameter 860 mil (1.385 km) atau sekitar sepertiga ukuran bulan. Menurut hasil penelitian David Gallo[3] direktur dari proyek Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) bahwa total volume air di bumi sekitar 1.332.000.000 km3. Dan volume air ini akan tetap dan tidak akan habis, setidaknya hingga jutaan tahun ke depan. Namun beberapa kalangan yang menentang kestatisan volume air mempunyai antitesa bahwa jumlah air di bumi dapat berkurang. Hal ini dapat terjadi karena adanya proses hidrolisis, dimana H2O diubah menjadi H+ dan O-. Sementara H+(hidrogen) akan meninggalkan bumi dan O-(oksigen) akan berada di atmosfer. Dapat dikatakan H2O yang terhidrolisis tidak akan kembali menjadi air (H2O) kembali dalam bentuk apapun. Namun jika air bumi bisa berkurang, seharusnya air yang ada dari milyaran tahun yang lalu sudah habis sekarang. Toh air ternyata masih tetap ada di bumi. Dan hal ini membuktikan bahwa air di bumi stabil. Bahkan beberapa penelitian mengatakan bahwa eletrolisis H2O menjadi Hidrogen dan Oksigen dapat distabilkan melalui mineral-mineral yang ada di dalam tanah. Beberapa mineral yang masih tersimpan jauh di bawah tanah, dapat melepaskan molekul H2O. dan stabilitas air dapat terjaga melalui proses kompensasi. Pada dasarnya tidak habis-habisnya air di bumi disebabkan karena adanya siklus air, sehingga volume air bumi tetap. Justru perubahan air bukan pada kuantitasnya, melainkan kualitas air. Air dapat memiliki bentuk-bentuk zat yang bervariasi. Ada cair, padat ataupun gas. Atau kualitas air dari segi keasinannya, ada air laut dan ada air tawar. Namun tetap saja, kuantitas air akan selalu tetap. Dan berikut ini adalah skema siklus air:
sumber: www.willoughby.nsw.gov.au
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa proses turunnya air (H2O) terjadi dari atmosfer ke bumi lalu kembali lagi ke atmosfer. Peristiwa ini terjadi secara siklik, sehingga disebut siklus air (water cycle). Perisitiwa ini menyebabkan air di bumi akan stabil secara kuantitatif. Matahari sebagai sumber energi panas, sangat berperan pada proses siklus air. Adapun tahapan-tahapan siklus air yang ada pada skema di atas adalah sebagai berikut: a. Evaporasi. Evaporasi adalah proses penguapan yang berasal dari larutan. Penguapan ini hanya menyerap kandungan pelarut (air/H2O) saja. Sehingga zat terlarut memiliki konsentrasi yang semakin tinggi. Hal ini senada dengan pendapat Evaporasi merupakan proses penguapan air yang berasal dari permukaan bentangan air (Lakitan, 1994). Dengan demikian, evaporasi dapat terjadi di genangan air seperti di kolam, danau, sungai dan laut. Dan bila terjadi proses evaporasi maka air akan terangkat ke atmosfer menjadi uap air. b. Transpirasi. Transpirasi merupakan proses penguapan yang hampir mirip dengan evaporasi. Hanya saja transpirasi adalah penguapan air yang terjadi pada tanaman. Transpirasi merupakan penguapan air melalui kutikula, stomata dan lentisel. Transprasi yang terjadi di daun dikarenakan hilangnya molekul-molekul air dari tubuh tanaman dan disebabkan juga karena daun-daun itu lebih kena udara daripada bagian-bagian lain dari suatu tanaman (Dwijdoseputro, 1990:92). c. Kondensasi. Setelah air naik ke atmosfer dan berubah menjadi uap-uap air, maka uap-uap air tersebut mengalami penggabungan/kondensasi membentuk awan-awan. Awan-awan yang memiliki konsentrasi uap air yang tinggi akan semakin abu-abu dan lama-kelamaan menghitam. Itu sebabnya jika hujan mau turun, ditandai dengan awan yang semakin menghitam. Awan yang menghitam merupakan indikator bahwa uap air yang telah menjadi awan, telah mencapai titik jenuh sehingga rintik-rintik air akan turun menjadi hujan ataupun salju. d. Presipitasi. Turunnya air yang telah banyak di atmosfer ke bumi dapat berwujud hujan ataupun salju. Hujan terjadi jika suhu yang mempengaruhinya cukup tinggi, sedangkan turunnya salju dipengaruhi oleh suhu yang lebih rendah. Dan inilah yang menyebabkan Negara di daerah tropis tidak mengenal salju, karena daerah tropis memliki suhu yang lebih tinggi. Sehingga sebelum sampai ke permukaan, gumpalan air yang akan mencapai tanah, sudah mencair. e. Infiltrasi. Infiltrasi merupakan penyerapan air yang tergenang di permukaan tanah, menuju ke dalam tanah (Soetoto dan Aryono, 1980). Hal ini dipengaruhi oleh tekanan yang diberikan air ke tanah. Infiltrasi pun tidak terlepas dari hukum gravitasi. Gravitasi mempengaruhi kecepatan dan kemampuan tanah menyerap air. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Asdak (2002) yang menyatakan bahwa proses terjadinya infiltrasi disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi bumi dan gaya kapiler tanah. Sementara Seyhan (1990) meyebutkan bahwa, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya infiltrasi adalah topografi (kemiringan tanah), intensitas curah hujan, tekstur tanah, kerapatan massa, kerapatan partikel, ruang pori tanah, dan bahan organik penyusun tanah. f. Perkolasi Perkolasi adalah kelanjutan dari infiltrasi. Setelah air melewati permukaan tanah, selanjutnya air akan masuk lebih dalam lagi. Perkolasi merupakan gerakan air ke bawah dari daerah air tidak jenuh (daerah antara permukaan tanah sampai ke permukaan air tanah) ke dalam daerah yang jenuh atau daerah dibawah permukaan air (Soemarto, 1987). Dan air hasil proses perkolasi inilah yang akan menggenangi waduk, sungai, laut dan danau. Sementara air dari sungai juga akan bermuara ke laut. Setelah itu, air akan kembali lagi mengalami proses evaporasi, transpirasi, dan seterusnya sehingga terbentuk suatu siklus yang disebut siklus air. Dari proses siklus air, dapat kita lihat bahwa siklus ini telah terjadi sejak jutaan bahkan milyaran tahun yang silam. Sehingga dapat dikatakan bahwa siklus air menyebabkan kuantitas air pada dasarnya stabil. Tidak ada perubahan jumlah air di bumi. Kalaupun ada, tidak terlalu berpengaruh signifikan dibandingkan dengan total jumlah air di bumi. Meskipun jumlah air di bumi sukar berkurang, namun yang lebih penting lagi adalah menjaga kualitas air bersih yang ada di lingkungan. Karena mengkonsumsi air yang tidak bersih dapat mengganggu aktivitas metabolisme manusia. Oleh karena itu, mari menjaga kualitas air bersih dengan memelihara dan mejaga lingkungan. Catatan kaki: [1] merupakan komunitas yang terdiri dari 80 negara lebih dan 2.700 ilmuwan yang memiliki sekretariat bersama di Weshington, DC, Amerika Serikat. Konsentrasi keilmuwan dan cakupan kerja komunitas ini adalah biota laut. [2] atau United States Geological Survey berkantor di Reston, Virginia, AS. Organisasi ini adalah organisasi sains yang menyediakan informasi tentang kesehatan dan lingkungan. [3] adalah direktur proyek khusus Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI). Gallo memperoleh gelar master ilmu geologinya dari State University of New York di Albany dan gelar Ph.D. dalam ilmu oseanografi dari Universitay of Rhode Island. Daftar Referensi: Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Davie, T. 2008. Fundamentals of Hidrology. Routledge. London and New York. Dwidjoseputro.1990.Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Pt Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Lakitan B. 1994. Dasar-dasar Klimatologi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Seyhan. E.1990. Dasar-dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soemarto, C.D., 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional, Surabaya. Soetoto, dan Aryono. 1980. Mekanika tanah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H