"Keberagaman seperti pelangi, semakin ramai warna semakin indah pertiwi" Tiada duga wajah Indonesia sekarang. Selain memiliki Sumber Daya Alam melimpah, Indonesia juga memiliki diversitas ras dan suku yang tinggi. Hulu sejarah telah menghilir seperti air, membentuk satu nusantara. Ini menunjukkan dalam perkembangannya sejak dahulu sampai sekarang, Indonesia adalah negara terbuka. Sejak zaman Sriwijaya, banyak orang-orang dari luar Nusantara datang berdagang atau belanja rempah-rempah. Sampai sekarang, tradisi ini masih berlanjut. Orang-orang dari luar Indonesia bertapak, menikmati keindahan alam, berwirausaha, berinvestasi, belajar budaya, sampai menetap dan melebur dengan masyarakat. Keterbukaan seperti ini diinterpretasikan oleh bangsa luar sebagai keramahan. Oleh karena itu, bangsa Indonesia popular sebagai negara ramah. Fenomena keramahan mempengaruhi terbentuknya keberagaman. Orang-orang yang dianggap asing, lebih mudah menyatu hingga menjadi bagian dari Indonesia. Bermula dari komunikasi biasa hingga pada komunikasi lebih akrab, seperti perkawina beda ras yang telah berlangsung sejak dulu, sehingga menghasilkan masyarakat yang plural. Dan salah satu bangsa luar yang telah merasakan keramahan Indonesia dan melebur menjadi bagian Nusantara adalah bangsa Tionghoa. Masyarakat Indonesia sejak zaman kerajaan sampai sekarang sering melakukan perkawinan silang dengan suku Tionghoa. Alhasil, banyak masyarakat Tionghoa yang berwarganegara Indonesia. Di antranya bahkan menjadi tokoh besar, seperti Siauw Giok Tjahn, Jhon Lie dan Joe Hin Tjio. Siauw Giok Tjahn, pernah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika peristiwa Agresi Militer. Pria yang lahir di Surabaya, Jawa Timur ini pernah mendirikan dua organisasi pemuda, yaitu Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru, merupakan organisasi yang terlibat dalam pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Tjahn juga satu dari 137 anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) -cikal bakal dewan legislatif - dan pernah menjadi menteri pada rezim Sokarno, membantu presiden, menjalankan roda pemerintahan. Kefasihan multi bahasa -Tionghoa, Melayu dan Jawa - memudahkan Siauw Giok Tjahn masuk ke semua jenis masyarakat. Tidak sampai di situ, pria yang pernah memboikot pertandingan sepakbola Hindia-Belanda ketika zaman penjajahan Belanda ini, bersama rekan-rekannya di Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) mendirikan Universitas Res Publica (Ureca) dengan mottonya "Pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!" Pada Orde Baru, Universitas Res Publica dirata-tanahkan (zaman Orba Res Publica diganti dengan Universitas Trisakti, yang justru turut menghancurkan Orba pada persitiwa 1998). Meskipun Siauw Giok Tjahn adalah seorang Tionghoa, namun dia memiliki cinta Indonesia dan perjuangan progresif untuk Nusantara yang lebih baik. Gbr. Siauw Giok Tjhan
sumber gambar: www.kabarindonesia.com
Jhon Lie. Pria yang lahir di Manado, 9 Maret 1911 ini adalah satu-satunya Pahlawan Nasional keturunan Tionghoa yang ditetapkan oleh Presiden VI R.I. Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 November 2009. Pria yang akrab disapa Jahja Daniel Dharma ini sering melakukan aksi 'penyeludupan' ke luar negeri, menjual komoditi Indonesia dan menukarnya dengan alat-alat seperti senjata untuk militer Indonesia. Dia memimpin kapal kapal PPB 58 LB (yang oleh John Lie dinamai "The Outlaw"), melewati derasnya lautan dan ketatnya penjagaan Belanda tahun1947-1948. Tahun 1967, dia pensiun dari kegiatan melautnya. Meski tak aktif bekerja lagi, dia tetap disibukkan dengan kegiatan sosial yaitu membagi-bagikan nasi bungkus kepada anak-anak dan fakir miskin serta mengangkat beberapa anak karena dia tidak memiliki anak kandung. Karena kebaikannya ini, wafatnya 27 Agustus 1988, banyak yang melayatnya. Kisah perjalanan lautnya yang pantang menyerah demi Indonesia, menjadi inspirasi bagi banyak orang, sehingga dia pun mendapat julukan "The Great Smuggler with the Bibble".
Gbr. Jhon Lie
sumber gambar: warofweekly.blogspot.com
Joe Hin Tjio. Seperti Tjhan dan Lie yang tak banyak dikenal oleh masyarakat, Joe Hin Tjio pun begitu. Pria Tionghoa yang lahir di Pulau Jawa, 2 November 1919 ini pernah dipenjara waktu zaman invasi Jepang selama 3 tahun karena percobaan pemberontakan atas kekejaman Jepang. Setelah itu dia lari ke Eropa dan memperdalam ilmu sainsnya di sana. Di Eropa, alumni IPB ini tenar. Bahkan dia semakin popular ketika menetapkan jumlah kromosom manusia (46 kromosom) dan mematahkan teori Painter (jumlah kromosom manusia 48 kromosom) yang telah lama dimasukkan dalam pelajaran sains siswa sekolah pada waktu itu. Ilmuwan yang besar ini, membawa nama Indonesia saat itu dikenal masyarakat dunia. Tjio akhirnya wafat pada 27 November 2001. (Informasi lengkap tentang foto dan penemuan Joe Hin Tjio) Kisah ketiga tokoh di atas mengindikasikan bahwa masyrakat Indonesia keturunan TIonghoa berpartisipasi dalam perjuangan dan meningkatkan harkat martabat Indonesia. Kontribusi mereka konkrit. Meskipun mereka pernah mendapatkan tindak diskriminasi dari masyarakat pribumi, namun mereka tidak pernah berhenti berjuang demi Indonesia. Oleh karena itu, apakah kita sebagai pribumi patut mendiskreditkan masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa, yang nyantanya lebih berkontribusi konkrit ketimbang orang-orang yang skeptik? Pada dasarnya memang tidak semua keturunan Tionghoa yang seperti mereka. Sebut saja Ang Tjoe Hong, atau lebih dikenal dengan nama Anggoro Widjojo. Pria yang lahir di Surabaya ini ditangkap KPK ('komisi' Pemberantasan Korupsi) dari China atas kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan, yang dilakukan pada tahun 2007. Anggoro Widjojo menjadi anti-tesa partisipasi positif keturunan Tionghoa atas NKRI yang bisa menimbulkan antipati dan diskriminasi pada masyarakat Tionghoa. Sebanyak bakteri di luar, lebih banyak virus di tubuh kita. Meskipun beberapa masyarakat TIonghoa durhaka pada Indonesia, namun tak sedikit Masyarakat Tionghoa yang memiliki jiwa nasionalisme lebih tinggi daripada masyarakat Indonesia asli. Sebanyak masyarakat Tionghoa menggrogoti bangsa, lebih banyak masyarakat pribumi melinggis bangsa sendiri. Terlepas dari itu semua, ihwal eksistensi dan pengaruh masyarakat Tionghoa di Indonesia telah berlangsung lama dan melebur dalam satu kebhinekaan. Oleh karena itu, kita patut mengapresiasi analisa dan pandangan Gusdur, melegalkan Imlek sebagai hari Libur Nasional. Mempertimbangkan pertisipasi faktual dan konkrit masyarakat Tionghoa di Indonesia, sudah selayaknya kita perlu memberi selamat Imlek kepada masyrakat keturunan Tionghoa, yang merupakan bagian dari NKRI. Akhir kata saya mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek, terkhususnya buat kawan-kawan keturunan Tionghoa. Gong Xi Fat Cai! Sumber: Ridley Matt. 2005. Genom (terj.). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm. 17-18 http://barboek.blogspot.com/2012/01/john-lie-si-penyelundup-yang-humanis.html http://www.tempo.co/read/news/2014/01/30/063549654/KPK-Tangkap-Buron-Anggoro-Widjojo http://www.indonesiamedia.com/2010/05/16/siapa-siauw-giok-tjhan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H