Lihat ke Halaman Asli

Puisi untuk PLN: Cahayamu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di kotamu, aku tahu sekarang sedang marak aksi pemadaman listrik. Bahkan mengisi tenaga karbon-karbon baterai HP saja terlalu rumit. Jadinya kalau kutelpon atau sms, seluler yang kau beli tahun lalu di plaza palladium lantai dasar itu, tak bernyawa. Barangkali sudah tak terhitung sms yang sedang tertunda di ruang gelombang 3G. Sia-sia aku menunggu sapamu.

Aku curiga, saat malam, kulitmu sering dikerumun nyamuk, karena dia senang pada remang-remang, pada angin tak bercahaya. Mata fasetnya silau dengan sinar. Yang selalu tampak di pikirannya, hanya tetes darah yang ada di balik kulit langsatmu.

Tapi pada situasi yang kau anggap setengah kiamat begini, bukankah kau ditakdirkan punya sumbu dan secenteng minyak. Ayolah, sayang lupakan lumrahmu. Sekarang terang sudah menjadi barang langkah. Ini saatnya sumbu menyala. Bukankan kita terlahir selalu memecah sunyi, khawatir dan prahara?

Kau masih ingat, ketika orang tuamu menceritakan detik-detikmu keluar dari lubang tersucinya, tangismu yang getir, memecah kesepian keluargamu. Kau adalah penantian lima tahun. Bisa kau bayangkan saat orang tuamu mengisahkannya padamu, ada raut yang tak biasa kau lihat dari wajahnya –kegembiraan.

Aku teringat pada kunang-kunang yang menebar sinar walaupun sudah jarang. Kalau mereka lewat di sudut gang, selalu berformasi membentuk huruf-huruf namamu.

Kalibata, Maret 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline