Lihat ke Halaman Asli

Rsensi: Puisi, Iman dan Ibu

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1402799087759524698

Tak ada seseorang  yang bisa mengukur keimanan orang lain. Apalagi hanya melihat dari penampilan atau kesehariannya saja. Rasanya terlalu implisit, bahkan rumit. Justifikasi tentang keimanan memang sering kita rasakan di masyarakat. Inilah yang patut dicermati sekaligus dihindari. Penghakiman atas iman seseorang.

Menyandingkan manifestasi Rontaan Masehi dengan keseharian sang penulis Iwan Kurniawan, maka ada tanggapan "kejutan". Keseharian penulis sepintas tak representatif dengan beberapa puisi religi yang tertuang dalam buku puisinya itu.

Beberapa puisi religinya,Rontaan Masehi, Hari Terakhir dan Denyutan Nadi, menyiratkan satu makna, bahwa keimanan bukan seperti pakaian yang perlu dipertontonkan. Dalam puisi Rontaan Masehi, yang ditulis 23 Agustus 2006 ini, meyuratkan kalimat indah nan dalam serta banyak tafsir, "masihkah langkah menggamit pepohonan sementara akar pun tertanam sukma".

Sementara dalam puisi Hari Terakhir, penulis mengakui bahwa sabda dan firdaus, ada. "Dari-MU hari tertanam tumbuh di antara semak belukar tertancap sabda," ditulisnya 2 Februari 2007. Insan muda tak mengenal anti keteraturan, tunduk juga pada sabda. Inilah bentuk keimanan hakiki yang diwujudkan penulis.

Bahkan dalam puisi Denyutan Nadi, penulis mengacu pada kitab tersucinya. Dari rongrongan kegelisahan spiritualnya, dia memverbalkannya melalui kata. Kata "kau" dalam kalimat "aku tidur tetapi jiwaku bangun//kau mengetuk denyutan nadi di dada" tertuju pada sesuatu yang membuatnya gelisah sekaligus tenang. Gelisah karena terketuk, tenang karena terjaga.

Dalam mengawal puisi-puisi bernuansa religi, penulis juga menulis beberapa puisi tentang eksistensi seorang ibu dalam perjalanan hidupnya. Tak sedikit syair tentang ibu, tertulis di buku ini. Sebut saja puisi berjudul Tetap, Kota Pagi ini, dan Pulang.

Setiap anak laki-laki, adalah pucuk cinta dari seorang ibu. Tak akhyal, tidak sedikit anak laki-laki disebut 'anak mami'. Namun istilah ini lebih pada konotatif negatif karena sering terlihat pada anak gedongan yang manja.

Penulis sendiri, adalah 'anak mami' namun menciptakan konotasinya sendiri. Pengaruh ibunya tidak berdampak pada pemanjaan dan menghambat ekspresinya berkarya. Justru, ibu yang digambarkan oleh penulis adalah perempuan yang memiliki leher beranyir cendana (pada puisi Pulang hlm. 89).

Dalam buku ini, penulis mendekatkan antara iman dan ibu. Kedua unsur yang suci. Sebagai tambahan, penulis juga memasukkan puisi satire. Ekspresi pemberontakannya muncul pada puisi-puisi sosial kritiknya. Meski demikian, penulis tetap saja menampilkan jiwa teduh pada puisi tentang keimanan dan seorang ibu.

Itulah hakikat seorang laki-laki. Kebebasan adalah harga mati, namun jika berbicara tentang keimanan dan ibu, laki-laki mana yang tak tunduk. Dan penulis menampilakan itu dalam buku puisinya yang kedua ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline