Lihat ke Halaman Asli

Televisi adalah Racun

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14057361352035743655

sumber gambar: hahastop.com

Ada satu keluarga sederhana tinggal di daerah yang setidaknya masih terpapar matahari. Mereka memiliki rumah ukuran 36 yang dibeli bekas dari seorang pengusaha investasi. Tak ada yang janggal pada sepasang suami isteri tersebut. Anak pertama sudah masuk PAUD dan anak terakhir baru belajar berjalan. Yang sedikit unik sejak membangun dermaga pelaminan, sampai anak kedua lahir, keluarga yang taat pada program KB tersebut, tidak memiliki televisi (TV).

Bukan karena gaji tak mumpuni, budaya irit, atau soal prioritas. Si suami yang bekerja di salah satu perusahaan BUMN ini, menganggap bahwa TV adalah racun. Bak gayung bersambut, sang permaisuri yang resign dari perusahaan swasta pasca melahirkan anak kedua, juga sepakat tidak memiliki TV di rumah mereka. Pasangan yang memiliki hobi membaca ini, sejak menikah 6 tahun silam, belum terkontaminasi dengan 'venom' TV.

Tak ada TV di rumah, bukan berarti mereka miskin informasi. Saat bercakap-cakap dengan tetangga soal kondisi dewasa ini, si suami tak minim suara. Bahkan si suami sering melengkapi informasi parsial tetangga, yang diperoleh dari TV. Tak ubahnya suami, sang isteri yang sering ngerumpi dengan ibu-ibu di lorong gang atau ketika datang ke arisan, juga tak jadi katak dalam tempurung. Meski telah berstatus ibu rumah tangga, wawasannya tentang gosip dan pemberitaan kekinian, sangat rinci.

Ternyata, keluarga ini memiliki tradisi 30 - 60 menit membaca surat kabar yang sudah disediakan para loper koran di teras mereka setiap pagi. Mereka berlangganan beberapa koran dan majalah untuk mengganti informasi TV. Mulanya terasa berbeda. Namun karena TV tidak lagi menjadi media informasi yang netral dan akurat, ditambah lagi program yang tidak mendidik, mereka semakin tidak tertarik membeli TV apalagi TV nirkabel atau satelit. Semua sudah terangkum di dalam media cetak yang dilahap mereka setiap pagi.

Jika terus bertahan sampai anak mereka dewasa, saya pikir, anak-anak mereka tidak akan menjadi anak cengeng atau mental sakit, seperti yang dipertontonkan sinetron-sinetron kita pada umumnya. Lebih lanjut, anak mereka akan memiliki hobi membaca yang kuat. Praktik membaca yang kuat, tentunya akan melatih imajinasi dan analisis. Dengan demikian, tidak bisa terbayangkan betapa cerdas dan kreatifnya anak mereka ke depan.

Secara kesehatan, para medis dan peneliti sering menyarankan tentang ancaman teleivisi. Mulai dari kesehatan terhadap mata hingga masalah pada organ dalam, seperti jantung dan pembuluh darah. Menurut para peneliti dari Belanda (Juni 2014) menyebutkan bahwa menonton TV 20 menit secara rutin akan mengeraskan pembuluh darah. Dampaknya, pembuluh darah lebih kaku. Parahnya lagi, hal ini bisa meningkatkan risiko penyakit jantung.

Saat ini masyarakat yang menonton TV semakin membengkak. Bahkan, program TV bisa diakses dari gadget seperti laptop, HP, tablet dan PC. Dari riset Connected Life (Maret-Juni 2014) terhadap 55.000 koresponden pengguna internet di seluruh dunia, 25% memanfaatkan gadget untuk menonton TV. Alasan tidak menggunakan TV konvensional adalah waktu dan tempat. Ini membuktikan acara TV tetap menarik perhatian tanpa memandang waktu dan tempat si penonton.

Masih dari sumber data yang sama, menyebutkan bahwa mayoritas 93% masyarakat Indonesia menonton TV setiap hari. Tak terbayang, banyaknya masyarakat terkontaminasi program TV yang tidak mendidik. Apalagi sepanjang 2013 - Apri 2014, KPI setelah menerima 1600-an pengaduan publik tentang tayangan TV. Akibat segudang pengaduan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah merilis 10 sinetron dan film televisi (FTV) yang tidak layak tonton.

Selain program entertain, masyarakat larut dalam hegemoni politik belakangan ini. Masyarakat menjelma menjadi frontal civil terhadap satu aliran politik tertentu. Mestinya, pemahaman politik bukan pada visi politisi melainkan visi bangsa dan negara. Pemilu 2014 jadi pembuktian paling ketara, betapa TV telah mengkontaminasi pikiran masyarakat.

TV menyajikan informasi yang tidak komprehensif, berimbang, dan tepat. Setiap pemodal TV memiliki kepentingan. Masyarakat larut dalam kebingungannya sendiri. Akibat tak tahu arah, masyarakat menjadi anarkis. Perkara anarkis bukan saja diperlihatkan melalui perbuatan fisik, lebih mengerikan adalah anarkis pendapat. Informasi yang diperoleh masih simpang siur, sudah membuat masyarakat 'sok tahu'. Jadilah dia ikut mengata-ngatai kompetitior dari tokoh yang didukungnya. Seharusnya masyarakat bisa lebih jelih, 'apa dibalik siapa'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline