Perlu saya ingatkan bahwa dalam tulisan ini saya tidak mendukung Facebook atau Darwis Tere Liye. Sebab, Mark Z bukan kakak kandung saya, apalagi bung Darwis Tere. Saya mencoba menyikapi secara teknis atas fenomena ketika seseorang menyatakan kontra terhadap lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) di tengah masyarakat yang pro.
Saya mulai dari sisi Facebook. Sebagai situs jejaring sosial, tentu ada yang namanya syarat dan ketentuan berlaku atau dalam bahasa American English berarti Statement of Rights and Responsibilities (SRR).
Facebook telah merevisi laman SRR sejak 30 January 2015 yang memuat 18 jenis aturan maupun bentuk pelanggaran dan kesimpulan mengenai hak Facebook untuk mengintervensi data dan informasi yang diunggah oleh pengguna. Terkait pemblokiran, akun netizen tersebut diduga telah melanggar sejumlah aturan tertentu. Antara lain, aturan pasal 3 tentang Safety ayat 6, 9, dan 11.
Tiga ayat tersebut, secara umum melarang pengguna Facebook untuk mengunggah foto atau tulisan yang bernada mengganggu dan melecehkan, mendiskriminasi tanpa dasar hukum, dan mendukung pengguna lain yang juga melakukan hal yang sama. Jika terbukti, Facebook berhak melakukan pemblokiran atau penghapusan. Kebijakan tersebut juga didukung oleh aturan yang termuat dalam pasal 5 ayat 2 dan 5.
Kemudian, setelah merevisi, kontroversi kaum non-heteroseksual dimenangkan oleh Obergefell yang juga pemimpin kaum LGBT di AS dengan ucapan selamat dari Barack Obama lima bulan setelahnya. Kesimpulannya, Facebook adalah American. Sosmed tersebut secara otomatis berpihak pada legalisasi LGBT di negeri asalnya. Berbeda ketika Donald Trump menyerukan Anti Islam di tanah Amerika. Facebook tidak serta merta mendukung. Malah menentang pernyataan Trump dan berjanji akan menyediakan perlindungan terhadap semua pengguna, termasuk muslim. Walaupun, Facebook belum menyatakan bentuk perlindungan seperti apa yang akan disediakan.
Kemudian dari sisi soal postingan Darwis Tere Liye yang diblokir, saya menilai bahwa doi telah menyerukan sebuah kritikan di tempat yang salah. Memang, kritikan tersebut cukup bermanfaat bagi generasi muda agar tidak mudah terpengaruh. Postingan tersebut sejalan dengan pernyataan dari Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Maneger Nasution.
Dia mengatakan, pemerintah harus melindungi warga negaranya, termasuk anak-anak Indonesia. Perlu adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa termasuk media massa dan media sosial dalam menyediakan perlindungan pemajuan penegakan dan pemenuhan hak-hak anak. Menurutnya, pemerintah harus merespon isu LGBT yang sedang merebak di tanah air. Sebab, apabila tidak ada tindakan, pemerintah akan dianggap melakukan pembiaran atau omission by state.
Namun, agaknya bung Darwis lupa soal satu hal bahwa eksistensi Amerika sebagai bangsa yang pro LGBT telah mendapat dukungan dari Barack Obama. Terang saja, postingan tersebut bertabrakan dengan budaya baru yang telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusinya Amerika. Sama saja dengan ketika seseorang mengibarkan bendera nazionalist socialist berlambang swastika di kota Berlin saat ini. Atau, mengibarkan bendera CCCP di depan kantor Polda Metro Jaya. Memang Indonesia menganut demokrasi, tetapi bukan berarti tidak akan bereaksi ketika dihadapkan dengan segala sesuatu yang berbau komunis. Bahkan ketika era Soeharto telah terlewati.