Lihat ke Halaman Asli

Manis Pahit Jadi Wartawan

Diperbarui: 11 Februari 2016   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baik, pertama kalinya di ranah publik dunia maya, saya mencoba bercerita tentang profesi yang sudah saya geluti selama lebih dari tiga tahun. Sedikit memang, tetapi saya pikir sudah cukup mewakili penggambaran uneg-uneg terkait salah satu isu yang kerap "diteriakkan" tiap perhelatan Hari Pers Nasional (HPN).

Ngomong-ngomong soal wartawan, namanya pekerjaan, pasti ada baik dan buruknya. Freelance maupun official, ada manis dan pahitnya. Juga soal pendapat per bulan pada konteks yang halal. 

Langsung saja, hal pertama yang dapat saya katakan tentang manisnya jadi wartawan itu, kita bisa dapat ilmu gratisan. Ibarat kata, sekolah gratis, malah dapat bayaran. Itu sensasi pertama yang saya rasakan semenjak satu bulan pertama mengenakan ID PERS pada sebuah media cetak. 

Kedua, sudah pasti banyak bertemu dan dapat kenalan orang-orang baru. Itu juga kalau rata-rata dalam sebulan, frekuensi antara mendekam atau kerja di markas alias kantor lebih sedikit ketimbang berada di luar kantor.

Bertemu orang baru, juga besar kemungkinan akan mendatangi tempat baru. Termasuk mengetahui seluk beluk akses jalan di suatu wilayah peliputan. Apalagi, jika berprofesi sebagai wartawan di kota sebesar Jakarta. Tahu akses jalan alternatif, atau yang biasa disebut "jalan tikus" akan menjadi satu keuntungan tersendiri.

Yang keempat, ada waktu tertentu saat seorang wartawan akan merasa sangat bangga dengan profesinya. Saya ingat salah satu redaktur saya mengatakan bahwa satu-satunya profesi yang dapat disetarakan dengan presiden, perdana menteri, atau duta besar hanya wartawan. 

Yah, itu sekelumit manis jadi wartawan, yang saya pikir juga dialami oleh hampir semua rekan-rekan seprofesi diluar sana ketika pertama kali menyematkan jati dirinya sebagai pewarta. Sebenarnya masih banyak lagi kebahagiaan menjadi wartawan, apalagi jika itu sudah menjadi cita-cita sejak lahir ditambah dengan latar belakang pendidikan dibidang yang sama. Bisa habis nih halaman kompasiana buat menceritakan bagusnya jadi wartawan.  

Nah, sekarang giliran sisi pahit menjadi buruh tinta. Saya mencoba untuk membahas salah satu unsur yang selama ini masih dikeluhkan sebagian besar awak media nasional. Yakni, soal gaji atau upah. Menurut saya, besaran upah pewarta masih belum ideal dan belum memiliki batas standar. 

Salah satu media online menulis bahwa gaji jurnalis atau pekerja media di Indonesia masih banyak yang di bawah rata-rata, bahkan sangat rendah. Hal itu, tidak sebanding dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai alat kontrol masyarakat. Standar Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Propinsi (UMP) masih menjadi acuan perusahaan media untuk menggaji wartawannya.

Ada lagi, tanpa sebut merk, salah satu website melansir fenomena minimnya gaji jurnalis yang berkiprah pada perusahaan media lokal. Seorang wartawan yang sudah bekerja 5 tahun di sebuah surat kabar, misalnya, besaran gajinya masih lebih rendah dibandingkan fresh graduate di bank. 

Kondisi tersebut, mengingatkan saya pada salah satu adegan komik Batman, nomer atau edisi berapa saya juga lupa, yang menampilkan dialog pendek antara Batman dengan Superman setelah terlibat pertarungan sengit melawan monster. Seperti gaya khas superhero, setelah beraksi, mereka melenggang dengan style masing-masing meninggalkan tempat kejadian perkara tanpa basa basi, apalagi gelar konferensi pers.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline