Hari itu, seorang pemuda yang baru setahun dapat KTP meradang karena ledakan petasan di luar jendela kamar. Pasalnya, sang ibu yang sedang sakit baru saja terpulas. Ia baru saja mengantarnya pulang dari berobat. Maka, dengan keberanian seorang pemuda, ia keluar dari rumahnya di kawasan Kota Batu. Ia berteriak-teriak, melantangkan tantangan berjibaku. Nahasnya yang membakar petasan tidak seorang diri. Celakanya, karena ditantang oleh pemuda yang lebih kencur, mereka pun kalap. Terjadi pengeroyokan, 1 lawan 30 orang.
Waktu tahu apa yang terjadi, tindakan pertama si ibu adalah menyuruh adik si pemuda mengambil pentungan. “Kamu harus tanggungjawab, keluar kamu, berantem sana!” perintahnya kepada si pemuda.
Sejatinya, sang ibu amat membenci kekerasan. Tetapi prinsipnya tegas. Harus berani tanggung-jawab atas seganap tindakan yang telah dilakukan. Si pemuda maklum, maka ia pun keluar rumah lagi. Ia berjibaku lagi. Dan akhirnya, tentu saja, ia kalah lagi.
Demikian kira-kira satu kejadian yang membuat Munir bisa dengan asyik bercengkerama dengan teror. Didikan sang Ibu membuatnya teguh; bahwa setiap kali bertindak, ia sudah harus siap menanggung risiko. Jadi, kendati motornya pernah diserempet orang tak dikenal, kerap diancam via SMS, rumah dan kantornya mau dibom, kantornya diserbu massa, sampai ditodong senapan; Munir terus melangkah di jalan keyakinan yang telah dipilihnya.
Tetapi mendaulatnya sebagai seseorang yang urat takutnya sudah putus barangkali berlebihan. Munir pun kerap didera ketakutan. “Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasi rasa takut,” kata Munir.
Akibat hanya membungkukan punggung pada nilai dan prinsip, Munir harus rela jadi sansak tinju orang ramai. Ia penah dinisbatkan sebagai aktivis Islam sosialis, tetapi lain waktu ketika lingkar kekuasaan berganti, ia pun dituduh Yahudi, Kristen sampai komunis dan antek-antek Amerika.
Kontradiktif dan sulit diterima nalar, tetapi apa mau dikata, Munir sudah terlanjur jadi objek yang asyik buat dijadikan musuh nomor wahid. Saking masifnya propaganda intelejen itu, sampai-sampai ada tokoh-tokoh nasional yang keheranan ketika menemukan Munir bersalat Jumat di mesjid yang sama dengan mereka.
Tetapi, teror yang paling menyakitkan bagi Munir bukan ancaman hendak dijadikan sosis. Melainkan pada jam setengah satu siang ada seorang perempuan hamil yang mengadu kepada istrinya bahwa dirinya telah dihamili Munir. Untungnya, Suciwati yang saat itu sedang hamil, tidak terpancing. “Saya akan bela kamu supaya Munir bertanggungjawab. Tunggu sebentar,” pintanya. Tetapi ketika Suciwati kembali dari bersalin, perempuan itu sudah lenyap.
Munir dan Suciwati memang kompak. Barangkali soulmate. Saling memahami, saling kuat-menguatkan. Ketika ada dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang terkena pecahan bom Tanah Tinggi, dan Munir ngotot untuk tidak menyerahkan mereka kepada tentara. Karena berstatus buron, kedua aktivis itu tidak bisa dibawa ke dokter. Walhasil, selama tiga hari –deadline yang diberi para petinggi LBH waktu itu, Suciwati dan beberapa aktivis junior LBH yang sepaham dengan Munir, merawat mereka dibawah bayang-bayang penangkapan oleh Kopasssus.
Tetapi sebagai pekerja HAM, Munir juga bukan tanpa cacat. Waktu bergiat di LBH, ia pernah mempermak orang sampai masuk rumah sakit. Kali lain, ia juga pernah melempar gelas ke muka orang. Ia tahu bahwa kedua tindakannya itu tidak benar, tetapi emosi terkadang mengalahkan nalar. Uniknya, ketika Kontras diserbu preman, dan pemuda penggiat Kontras sudah bertekad tidak ada istilah mengalah, Munir malah berpikir untuk berdamai saja; agar penyerang itu dilepaskan dari jerat hukum. “Kupikir, biarin ajalah preman dilepas, musuhku toh yang lain,” katanya.
Segenap cerita ini, saya dapatkan dari buku Keberanian bersama Munir karangan Meicky Shoreamanis Panggabean. Sungguh buku yang menarik, karena darinya saya menemukan sosok Munir dari sisi manusia normal.