Lihat ke Halaman Asli

hendri setiawan

Chemie - Pekerja Biasa di Pabrik

Terima Kasih, Chairil Anwar

Diperbarui: 11 Februari 2022   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Chairil Anwar Penyair Angkatan 45 (Sumber Gambar kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Awal tulisan saya mungkin tak menceritakan banyak hal. Namun, saya hanya menceritakan bagaimana kata kata pada puisi Chairil Anwar yang mempengaruhi kehidupan saya atau mungkin saya yang mencoba menjadi terpengaruh pada bait-bait puisi berjudul “Aku”. Entahlah, sampai saat ini pun saya masih bimbang akan hal itu.

Awal mula saya berkenalan dengan puisi “Aku” pada tahun ajaran 2010/2011. Kelas 8 SMP tepatnya. Saat itu, pelajaran Bahasa Indonesia bagian puisi. Kami satu kelas diminta membacakan puisi yang kami pilih satu persatu. Saya bingung akan membaca puisi apa. Puisi “Aku” akhirnya saya pilih setelah membaca penjelasan di bawahnya dan menurut saya merupakan puisi yang pendek tetapi memiliki makna yang dalam. Mungkin ada dua orang sebelum saya yang membacakan puisi ini di depan kelas. Maklum , nomor absen saya termasuk di tengah. Tiba giliran saya membacakan puisi ini di depan kelas , entah mengapa saya merasa percaya diri membacakan pusis ini. Saya meyakini ada keegoisan, kesepian dan  sebuah harapan. Mustahil untuk hidup seribu tahun , tetapi entah mengapa frasa ini yang membuat saya jatuh cinta pada puisi “Aku”. Dari sinilah saya mecari-cari maksud dari frasa tersebut dari dulu hingga sekarang.

“Aku mau hidup seribu tahun lagi” membuat saya berpikir bagaimana cara manusia untuk dapat mewujudkannya. Apakah melalui teknologi agar hidup lebih lama layaknya Elf dalam dongeng atau justru membuat karya yang dapat diingat seribu tahun lamanya.

Jawaban yang saya pilih saat itu tentu saja menggunakan teknologi agar awet muda. Namun, prinsip ini saya rasa kurang sesuai dengan perkembangan teknologi sekarang alias mustahil diwujudkan. Sehingga membuat karya yang dapat dikenang oranglain merupakan pemikiran yang saat ini masuk akal saat ini. Namun karya apa yang dapat saya persembahkan untuk dunia. Tidak, itu terlalu luas. Saya rasa cukup untuk dibaca orang lain saja cukup. Tetapi dengan background saya yang saat itu mahasiswa membuat saya berpikir bahwa sebelum saya meninggalkan almamater harus ada yang saya berikan.

Pemikiran ini membuat saya nekat membuat karya ilmiah untuk perlombaan nasional yang menurut saya seandainya gagalpun saya punya sebuah karya untuk ilmu pengetahuan selain skripsi saya tentunya. Pemikiran pasrah inilah yang seharusnya tidak boleh ada dalam pembuatan sebuah karya. Sebuah karya haruslah diciptakan dari pemikiran yang optimis sesuai dengan tujuan kreator.

Setelah bekerja, saya merasa perlu menulis hal-hal yang terlintas dipikiran. Puisi, cerpen, ulasan jurnal penelitian maupun opini harus menjadi hal yang setidaknya dibuat untuk seribu tahun kedepan menjadi manusia. Perasaan bebas berkarya tanpa perlu takut dihakimi atas karya sendiri menurut saya penting , tanpa ada embel-embel penilaian. Ketakutan menulis selalu saya alami dari SMP sampai sekarang. Takut dianggap karya saya jelek dan dibandingkan. Saya pernah menantang diri sendiri selama tiga tahun di SMA untuk menulis puisi. Puisi-puisi itu pun masih dalam catatan kecil yang tidak mampu saya tunjukkan pada orang lain. Tulisan ini semoga menjadi awal bagi saya untuk menulis tanpa takut dan membuktikan diri bahwa kita dapat hidup seribu tahun lagi. Terima kasih Chairil Anwar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline