Lihat ke Halaman Asli

Siapa pun Presidennya

Diperbarui: 13 April 2019   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan sawah

Tanah Parahyangan (foto oleh Hendri Ma'ruf)

Saya berada di rumah pada saat kedua Capres berkampanye di lapangan terbuka terakhir kalinya menjelang Hari-H Pilpres 17 April 2019. Setelah bangun tidur siang, sudah saya niatkan menulis sebuah artikel yang ingin saya share kepada Saudara-saudaraku sebangsa.

Kedua  calon presiden mempunyai kehebatan masing-masing. Tetapi, fokus tulisan ini adalah pada perilaku bangsa.

Saat Pilpres terjadi di 17 April 2019,  ini menandai 73 tahun 8 bulan kemerdekaan RI dari penjajahan bangsa asing. Akumulasi prestasi bangsa di semua aspek kehidupan bisalah kita banggakan sejak dari jaman Bung Karno hingga enam presiden berikutnya pada hari ini. Tentu saja, di sisi lain, kita sebagai bangsa masih prihatin bahwa kita masih tertinggal dari bangsa-bangsa lain di sekitar kita. Baik dari Malaysia, Singapura, atau pun dari Thailand. Sementara Vietnam segera akan meninggalkan kita dengan kemajuan-kemajuannya.

Kemajuan dan ketertinggalan ada bersama kita. Sayangnya ketertinggalan itu (misalnya ketertinggalan dalam hal produksi pangan tertentu) sudah berlangsung puluhan tahun dan tak juga beranjak terpecahkan.

Ada pendapat mengatakan bahwa kita masih disibukkan oleh hal-hal yang kurang penting bagi kemajuan bangsa. Kita masih suka berdebat sesama, bukannya berdiskusi mencari hal-hal baru yang memajukan kita semua. Kita masih suka memilih hal-hal yang hebat yang didapat dengan cara cepat, sehingga mengabaikan proses.

Ada juga yang mengatakan bahwa kita lebih suka bungkus daripada isi. Ini sudah menyangkut mentalitas. Juga, ada yang mengatakan kita sebagai bangsa sering mencari kambing hitam.

Adalah menarik untuk melihat kembali apa kata Sarlito Wirawan Sarwono bertahun-tahun lalu yang tidak saja menunjukkan perilaku masyarakat, tetapi juga perilaku tokoh-tokohnya:

"Sebagian besar orang Indonesia, menurut hemat saya, tergolong PKE [Pusat Kendali Eksernal]. Bukan hanya dalam kasus Malari, tetapi hampir pada setiap peristiwa sehari-hari. Kalau dalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan minta bantuan pemerintah. Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak bersahabat. Bahkan ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (menggiatnya perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), ketimbang merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju perekonomian nasional."

Nah, kita akan lebih lengkap rasanya jika melihat pendapat Mochtar Lubis yang ia sebut sebagai ciri orang Indonesia. Itu disampaikannya dalam pidato kebudayaan pada di Jakarta, 6 April 1977:

  • Hipokrit alias munafik
  • Segan dan enggan bertanggung-jawab atas perbuatannya
  • Berjiwa feodal
  • Masih percaya takhyul
  • Artistik (jiwa seni)
  • Watak yg lemah 

Selang berapa waktu kemudian, ketika dia ditanyai lagi apakah keenam hal di atas masih berlaku, Muchtar Lubis malah menambahkan enam hal lainnya berikut ini:

  • Tidak hemat
  • Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa
  • Manusia Indonesia kini tukang menggerutu
  • Cepat cemburu dan dengki
  • Manusia Indonesia juga dapat dikatakan manusia sok
  • Manusia Indonesia juga manusia tukang tiru atau plagiat 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline