Demo Bela Islam II tanggal 4 Nopember 2016 bersamaan dengan tanggal 4 Shaffar 1438 dapat dikatakan berjalan dengan damai. Umat Islam dari ba’da shalat Jum’at hingga maghrib di sekeliling Lapangan Monumen Nasional mengalir dalam bilangan ratusan ribu jiwa. Sampai dengan menjelang Isya berjalan damai, sehingga pantas disematkan julukan Aksi Damai 4-11.
Di sekitar waktu ‘Isya, ada sekelompok kecil orang yang mencoba memprovokasi di Jalan Merdeka Utara. Bersyukur bahwa provokasi itu gagal. Bersyukur pula, tak ada kerusuhan antara tengah malam hingga bubar ba’da subuh di lokasi depan Gedung DPR.
Aksi Bela Islam II atau Aksi Damai 4-11 itu membanggakan bagi Umat Islam, khususnya Ulama dan Umat yang menganggap ada penistaan oleh Ahok kepada Ulama dan kepada Al-Quran. Rasa bangga yang muncul dari kesuksesan melakukan perhelatan akbar ratusan ribu orang dengan damai. Rasa bangga itu ternyata kini bersambung dengan ancaman akan melanjutkan dengan Aksi Bela Islam III yang lebih besar lagi jika Pemerintah tidak serius menangani kasus penistaan terhadap Ulama dan Al-Quran.
Sampai di sini saya tertegun.
Saya sependapat bahwa Aksi Bela Islam II itu sukses. Juga saya setuju bahwa Aksi Damai itu yang berjalan aman dan damai yang diikuti Umat Islam dalam jumlah yang amat sangat banyak yang sebagiannya datang dari luar Pulau Jawa. Tetapi, janganlah hal ini menjadi euforia apalagi mengembangkannya menjadi Aksi Bela Islam lanjutan.
Jika ditarik mundur, pemicu dari aksi demo besar-besaran itu adalah tuduhan kepada Ahok yang menista Ulama dan Al-Quran. Silang pendapat antara pendukung adanya penistaan dan pendukung tiadanya penistaan sangat keras terjadi di dunia media sosial. Kaum Muslimin pendukung adanya penistaan menganggap saudara Muslimnya yang tak sepakat soal penistaan sebagai Muslim cicak yang berarti pengkhianat. Anggapan bukan hanya itu, muncul kata Munafiq untuk menggelari saudaranya sesama Muslim tetapi tak sepakat soal tuduhan penistaan itu karena sama artinya sebagai Muslim pembela Kafir.
Dunia maya di hari-hari menjelang pra-Aksi Bela Islam II menunjukkan suasana perbedaan yang memecahkan. Perbedaan pendapat berkembang menjadi perseteruan keras.
Padahal perbedaannya bermula bukan dalam hal akidah, keimanan, keIslaman, melainkan dalam hal persepsi atas ucapan Ahok. Rupanya, perbedaan persepsi sudah dianggap sama dan setingkat dengan perbedaan antara keimanan atau kemusyrikan. Yang menyedihkan adalah kerenggangan persahabatan terjadi disertai dengan hujatan tak langsung seperti melabel munafiq, pengkhianat, atau lainnya.
Sebagian Umat Islam telah menjadi Umat yang berpikir hitam putih. Bahwa kalau tidak mendukung aksi demo Bela Islam berarti tergolong munafiq. Islamnya diragukan karena tidak mau turut serta membela agamanya, ulamanya, dan al-Qurannya. Ide bahwa soal penistaan oleh Ahok belum tentu menista Ulama dan al-Quran, tidak diterima. Jelaslah bahwa Ahok menista Ulama dan al-Quran sudah menjadi adagium.
Kini, pasca Aksi Damai 4-11, cara berpikir hitam putih itu masih terus berlanjut. Bahkan semakin mengkristal.
Din Syamsudin dikutip seseorang mengatakan: “Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan karena orang satu, kerukunan bangsa terganggu. Solusi terbaik: potong akar tunjang masalah, tegakkah hukum secara berkeadilan.” Kata-kata ini sejalan dengan nada ancaman yang disebutkan di atas bahwa akan ada aksi lanjutan. Rupanya, ini bersambung dengan ucapan dari pimpinan ormas Al-Washliyah.