Lihat ke Halaman Asli

Cerita Keadilan dari Judge Bao, Zhong Kim Nam, dan Ahok

Diperbarui: 2 Agustus 2015   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Judge Bao"][/caption]
Apa yang paling menyentuh nurani manusia selain dari rasa cinta? Rasa keadilan! Bersikap adil itu berat. Berjuang menegakkan keadilan mungkin lebih berat. 

Tokoh terkenal dari sejarah Tiongkok yang mempunyai integritas sangat tinggi dalam menegakkan keadilan adalah Bao Zheng. Bao Zheng adalah seorang hakim dan negarawan terkenal, kelahiran tahun 999 dan meninggal 1062. Dia menjadi terkenal karena kejujuran dan bersih (dari korupsi), sampai-sampai dijuluki Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru. Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao karena warna kulitnya yang gelap. 

Keadilan tidak mengenal pangkat, jabatan, maupun hubungan keluarga. Karena itu, Bao Zheng tak peduli dengan siapa pun yang dihadapinya. Rekam jejaknya yang menunjukkan ketegasan dan keteguhan dalam menegakkan keadilan diamati Raja Tiongkok kala itu, yakni Kaisar Song Renzong. Begitu terpesonanya sang Kaisar dengan karakter Bao Zhen yang mulia itu, membuatnya memberi wewenang besar kepada sang hakim itu. Wewenang itu adalah kewenangan memutus secara final. Artinya, keputusan yang dibuat Bao Zheng tidak perlu dikonsultasikan lagi kepada siapapun, baik kepada Kaisar, Penasihat Raja, Keluarga Kerajaan, maupun kepada Guru Besar Liu Pang, yang notabene mertua Kaisar. 

Dari Wikipedia berbahasa Indonesia, dapat dilihat sekeping ceritanya berikut ini. 

Dia terkenal karena pendiriannya yang tak kenal kompromi terhadap korupsi di antara pejabat pemerintahan saat itu. Dia menegakkan keadilan bahkan menolak untuk tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi darinya bila itu tidak benar termasuk pada Guru Besar Liu Pang, ayah mertua kaisar yang merangkap guru besar yang membimbing putra mahkota sehingga Liu Pang sangat menganggap Bao sebagai musuhnya. 

Sejarah mencatat bahwa selama kurang lebih 30 tahun sejak dia memegang jabatan pertama kalinya, sebanyak lebih dari 30 orang pejabat tinggi termasuk beberapa mentri telah dipecat atau diturunkan pangkatnya olehnya atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Enam kali dia melaporkan pada kaisar dan memintanya agar memecat pejabat tinggi, Zhang Yaozhuo, paman dari selir kelas atas kerajaan, tujuh kali untuk memecat Wang Kui, pejabat tinggi lain yang kepercayaan kaisar. Bahkan dia pernah beberapa kali membujuk kaisar untuk memecat perdana mentri Song Yang. Dalam kapasitasnya sebagai juru sensor kerajaan dia selalu sukses meyakinkan kaisar tanpa membawa kesulitan bagi dirinya. Padahal dalam sejarah banyak juru sensor telah mengalami nasib yang buruk, seperti misalnya Sima Qian, sejarawan dan filsuf Dinasti Han yang dikebiri karena Kaisar Han Wudi tidak bisa menerima pendapatnya. 

Salah satu cerita keputusan yang adil dari Bao Zheng adalah ketika dia mengadili Pangeran Chen Shimei. Dia adalah sarjana yang cemerlang yang dengan kecemerlangan otaknya dalam dunia akademik mampu mengawini seorang putri bangsawan. Belakangan ketahuan bahwa sebenarnya dia telah punya istri dan anak. Saat istri dan dua anaknya didatangkan Bao untuk dikonfrontir dengan Chen Shimei, tentu saja sang suami membantah mentah-mentah. 

Yang tak bisa dibohongi adalah kedua anaknya yang segera mengenali sang ayah. Tetap saja, sang ayah tak mau mengakui. Dia mengatakan tak kenal pada kedua anak itu maupun ibu mereka. Pertemuan keluarga itu hanyalah salah satu dari banyak cara yang dilakukan oleh Bao Zheng untuk memastikan bahwa Chen Shimei telah berlaku tidak jujur. Saat telah dipastikan ketidak-jujuran itu, Bao Zheng pun mantap menghukum Chen Shimei. Ternyata, Permaisuri turut campur dalam proses itu. Dia menghendaki kebebasanbagi Chen Shimei. Bao Zheng bukanlah Bao Zhen kalau takut pada sang Permaisuri. Dengan kewenangan penuh yang dia miliki, dia pun menghukum Chen Shimei. 

Cerita Chen Shimei itu adalah salah satu cerita yang melegenda dari Hakim Bao Zheng. Cerita ini menjadi salah satu cerita yang dibuat film serinya. Film-film tentang keputusan yang adil dari Bao Zheng juga diambilkan dari banyak cerita atau legenda yang berada di sekitar Bao Zheng. Film dia menjadi populer yang di Indonesia terkenal dengan nama Judge Bao. 

Kita beralih ke cerita lain. Cerita seorang lelaki bernama Zhong Kim Nam (dalam aksen lain, namanya ditulis Tjung Kim Nam). Cerita ini saya ambilkan dari tulisan seorang Kompasianer bernama Reno Muhammad. 

Zhong Kim Nam punya perusahaan dengan sejumlah karyawan. Suatu hari, dua supirnya yang sedang bertugas tanpa sengaja mengotori para satpam PN Timah dengan debu yang beterbangan karena mobil yang mereka kendarai. Para satpam itu marah sehingga mereka pun menyetop dan memukuli karyawan Zhong Kim Nam. 

Sepulangnya mereka dan ketika Zhong Kim Nam mengetahui cerita itu, iapun menelpon pimpinan bagian keamanan PN Timah dan meminta pertanggung-jawaban anak buahnya. Bukannya bertanggung-jawab, sang pimpinan bagian keamanan itu malah mengirim lagi orang-orangnya ke tempat Zhong Kim Nam. Tetapi, anak buah Kim Nam telah siap menerima mereka bahkan sekarang giliran mereka yang memukul mereka. 

Satpam yang kalah jumlah itu pun kembali ke markas mereka. Tetapi mereka yang berjumlah dua orang itu kembali dengan membawa senapan. Mereka pun berteriak-teriak mencaci. 

Kim Nam yang pernah menyimpan pistol (saat itu eranya sipil masih dimungkinkan menyimpan dan menggunakan senjata api) mencari pistolnya. Ia pun teringat bahwa pistolnya dia pinjamkan kepada seorang jaksa setempat. Tanpa senjata apa pun dia beranjak keluar rumah. Istri dan anak-anaknya menahannya. Mereka tak ingin suami/ayah mereka cidera atau bahkan tewas di tangan satpam PN Timah itu. 

Tetapi hati Kim Nam yang bergolak terhadap kesewenangan satpam PN Timah itu tetap berkeras hati untuk keluar rumah. Ia tak takut menyongsong risiko bahaya. Dadanya terasa penuh oleh rasa protes akan ketidak-adilan yang ia hadapi. Dia bilang kepada keluarganya: “Mending tertembak di depan rumah, itu lebih laki-laki.” 

Dia pun melangkah keluar rumah—menghadapi dua orang satpam bersenjata api itu. Keberaniannya menghadapi mereka menginspirasi anak buahnya untuk juga melangkahkan kaki keluar dan bersama-sama menghadapi kedua orang satpam tersebut. Keberanian mereka beramai-ramai menghadapi satpam bersenjata yang hanya dua orang itu membuat kedua satpam itu memutuskan hengkang. 

Cerita keberanian itu, keberanian membela anak buah yang dianiaya, menjadi inspirasi bagi keempat anak Kim Nam. Kepada anak-anaknya dia bertutur: “Tiongkok adalah tanah leluhur. Tetapi Indonesia adalah tanah air.” Ada aroma hormat kepada negri leluhur, tetapi sekaligus cinta tanah air. Tidak ada kontradiksi dalam kata-katanya itu; tidak juga pengkhianatan maupun loyalitas ganda. Semangat itu tertanam dalam diri anak-anaknya—semangat cinta Tanah Air dan menegakkan keadilan. 

Salah satu anaknya bernama Zhong Wan Xie. Wan Xie inilah yang kemudian menjadi Bupati di Belitung Timur, kemudian menjadi Anggota DPR RI, dan sekarang sebagai Wakil Gubernur DKI. Namanya telah lama berganti menjadi Basuki Tjahaja Purnama yang populer dengan nama panggilan Ahok. 

Salah satu cerita keberanian Ahok adalah ketika sebagai Anggota DPR RI Komisi II, dia berani mempertanyakan KPU dan Bawaslu mengapa tidak berupaya mencari terobosan dalam penyelenggaran Pemilu yang adil. Silakan simak kata-katanya berikut ini: 

“Pemerintah habis uang banyak [untuk pasang iklan ajakan partisipasi Pemilu]. Saya katakan Pemerintah tidak substantif... 

Yang kita tidak mau itu kan kalau koruptor itu yang jadi kembali. Yang kita tidak mau pencuri-pencuri uang ini, bos-bos gelap ini yang tidak bayar pajak, yang membiayai orang, ini yang menjadi kepala daerah. Dan KPU/ Bawaslu tidak bisa mencegah ini. Maksud saya harus bikin terobosan. 

Di dalam alam demokrasi, yang buruk dan yang baik punya peluang yang sama untuk terpilih. Nah itu tugas bapak-bapak dan ibu-ibu di sini, bagaimana yang buruk-buruk ini jangan terpilih karena lapangan permainannya tidak rata. Tugas bapak adalah meratakan lapangan. 

Saya selalu bermimpi, para aktivis idealis ini pada tahun 2014 bisa masuk ke politik ini tanpa dicurangi. Misalnya DPT. Saya tidak mengerti kenapa KPU tidak membuat satu terobosan. Bapak[-bapak] selama 5 tahun kan mengecek DPT yang diperbaiki, diperbarui itu. Kenapa tidak buat suatu sistem... 

Dengan sistem bapak sekarang, bapak melanggar hak asasi manusia. Bapak memasang iklan dengan biaya begitu besar supaya masyarakat ikut partisipasi memilih. Tapi orang yang begitu rajin sampai ke TPS dan gara-gara di DPT tidak ada namanya, bapak hilangkan hak pilihnya. Apalagi kalau KPUDnya oknumnya juga main. Seperti yang [dulu] saya alami, DPT itu kosong. Siapa yang datang baru diisi tangan. Bapak[-bapak] boleh cek. Pemilihan Gubernur Bangka-Belitu dulu itu hampir semua diisi tangan. Jadi sangat, sangat keterlaluan.

Jadi, bapak-bapak membuat lapangan permainan tidak rata, dan yang buruk yang terpilih pak. Itu dari sisi pendaftaran DPT. Itu saya mau tanya, kenapa KPU tidak ada terobosan seperti itu? 

Yang kedua... [Tahun] 2009 kemarin saya tahu persis ada sesuatu yang aneh. Satu kecamatan di Kabupaten Belitung dari jam 2 dihitung sampai jam 5[sore] satu kecamatan saya sudah dapat 8.000 suara. Begitu direkap, suaranya tinggal 6.000 seluruh Kabupaten. Lalu seluruh pulau Bangka, 5 kabupaten/kota, waktu bapak[-bapak] masih bikin rekap di Borobudur, saya nilainya sudah 17.000, lawan saya baru 3.000, 2.000. Begitu selesai rekap saya 17.000 dia 35.000. 

Lalu bagaimana pak saya bisa duduk di sini [di Gedung DPR sbg Anggota DPR]? Karena Belitung Timur membuat film dokumenter saya dari perusahaan film. Dia filmin semua... [Mungkin karena itu] Oknum sana ga berani main. Menanglah saya, 44%. Duduklah saya di DPR. Pertanyaan saya, kenapa Bawaslu tidak mau foto? 

Saya buktikan kemarin Pemilukada di Bel-Tim, saya turunkan kamera digital... saya shoot semua. Itu masih ada oknum mau main. Di dalam lembaran kertas itu dia tidak mau tulis lokasi TPSnya, kosong. Itu kan pelanggaran. Karena saya Komisi II saya bisa bilang ini pelanggaran... Karena [upaya saya] itu angkanya tidak berubah. Adik saya dapat 42,67%. Maksud saya, apakah KPU dan Bawaslu tidak mengerti urusan yg begitu mudah. Tidak bisa Saudara lakukan. Ini untuk mencegah maling-maling yang jadi pejabat. Supaya aktivis idealis ini bisa bertanding. Kalau tidak, kita bisa frustrasi semua. ” 

Nurani keadilan mendorong Ahok terus berupaya mengambil tindakan-tindakan yang adil. Itu terlihat dari sepak terjangnya dalam memimpin DKI sebagai orang nomor dua. Mungkin saja dia menjadi orang nomor satu di DKI. Dan kalau ini terjadi, semoga saja dia terus mampu mengambil tindakan-tindakan yang adil—seberani ayahnya dan seadil Judge Bao—hingga akhir periode kepemimpinannya nanti.

 

--Hendri Ma’ruf--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline