Lihat ke Halaman Asli

Perang Semua Melawan Semua

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tasniem Fauzia, putri Amien Rais, membuat heboh dunia maya dengan surat terbukanya kepada Capres Jokowi. Kubu Capres nomor satu segera berdatangan memberi dukungan. Kubu Capres nomor dua segera membangun benteng pertahanan.

Bak permainan sepakbola, serangan Tasniem mendapatkan bantuan pendukung Capres nomor satu tetapi sekaligus menghadapi pertahanan pendukung Capres nomor dua. Tidak cukup bertahan, persis permainan sepakbola, kubu Capres nomor dua menggunakan isi surat terbuka itu untuk melancarkan serangan balik. Wow, seru banget.

Kalau dalam sepakbola permainan dilakukan oleh sebelas orang melawan sebelas orang, dalam kancah pertarungan antar pendukung capres, tidak jelas berapa ratus ribu atau juta “pemain” berada di lapangan. Dari sebuah survei tahun lalu diketahui jumlah pengguna facebook yang aktif diIndonesia ada 48,1 juta jiwa dan jumlah pengguna twitter yang aktif sebesar 15 juta. Bayangkan kalau sepuluh persen saja yang “turun” ke lapangan untuk saling serang dan bertahan, mungkin dua jutaan versus dua jutaan di FB dan ratusan ribu versus ratusan ribu di Twitter.

Saya jadi teringat pada tawuran, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan berakar kata “tawur” yang berarti perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal”. Kalau tawuran terjadi antar siswa, bahkan antar mahasiswa dan antar kampung, maka yang sekarang di terjadi di dunia maya adalah tawuran daring alias tawuran online.

Dan karena kecenderungannya sekarang adalah tujuan menghalalkan cara, maka dalam tawuran daring itu pun dibuatkan akun robot. Sebuah survei yang dilakukan Indeks Digital, jumlah akun-akun robot itu berbeda setiap hari. Menurut Jimmi Kembaren, Direktur Indeks Digital: "Pada tanggal 19 Juni kemarin jumlahnya sampai 27 ribu. 18 Juni mencapai 23.629". Menurut Jimmi, akun-akun robot ini menulis berbagai tema yang berbeda. Ada yang mendukung capres-cawapres baik dari Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Maupun menjelek-jelekkan pasangan capres-cawapres tersebut. Meski begitu Jimmi mengklaim, tidak bisa terlihat siapa pihak atau dari kubu mana yang menciptakan akun robot tersebut

Menarik untuk menyimak situasi “peperangan” di dunia maya dibandingkan situasi “perang spanduk” di dunia nyata. Perang di dunia maya penuh dengan informasi—baik faktual maupun menyesatkan—ditambah kata-kata sifat yang merupakan penilaian atau judgment yang cenderung negatif bahkan jahat. Contoh informasi menyesatkan dapat dilihat pada status Goenawan Mohamad yang sepotong kutipannya berbunyi: “...Setelah memalsu akun orang di Twitter (milik Rosiana Silalahi), memalsu gambar T-Shirt Iwan Fals, memalsu riwayat hidup Jokowi—dikatakan keturunan Cina, dan beragama Kristen—kini memalsu berita CNN dan hasil poll Gallup... Politik memerlukan kecerdikan, kadang-kadang kelicikan, tapi saya belum pernah menyaksikan tingkat pemalsuan yang seperti sekarang.”

Sementara perang spanduk, hanya berisikan kampanye positif.

Mengapa begitu?!

Karena kalau di dunia maya, sang penulis bisa bersembunyi sementara kata-katanya terus berjalan keliling dunia maya. Kalaupun ada kata-kata dalam serangan yang dianggap fitnah, Polisi tidak [bisa atau tidak mau] menangkap. Keributan memang terjadi tetapi pembelaan terjadi amat kuat. Sampai akhirnya tenang dengan sendirinya—meski pihak terserang (mungkin) tidak pernah memaafkan.

Sementara kalau di dunia nyata, pemasangan spanduk yang provokatif bisa dengan mudah terdeteksi oleh warga sekitar. Spanduk itu dengan segera dilepas dan dibuang/dibakar. Dan kalaupun ada berbentuk barang cetakan seperti kasus tabloid Obor Rakyat, toh sampai hari ini belum ada tindak lanjutnya atas pemimpin redaksi dan wartawan yang menulisnya.

Lalu mengapa perang di dunia maya terus marak dan sulit terkendali? Mungkin karena gabungan kecenderungan masyarakat kita pada tawuran, dengan sifat “kurang mau bertanggung-jawab” dan dengan sifat “hipokrit” sebagaimana yang dinyatakan Mochtar Lubis tahun 1977 tentang enam ciri kelemahan manusia Indonesia.

Gabungan perang kampanye terbuka di dunia nyata dan perang kampanye (lebih-lebih kampanya jahat) di dunia maya sudah sampai pada tahap perang semua melawan semua. Kecuali para pemilih yang belum memutuskan atau disebut swing voters dan masyarakat yang enggan terlibat dukung mendukung capres, praktis semua lainnya terjun ke lapangan ikut berperang—meski kadarnya beragam dari yang sekedar menulis status pendek sekali-sekali sampai yang aktif menyerang dan bertahan.

Situasi itu ditambah perilaku politisi yang cenderung bersikap “lawan di ruang sidang, juga lawan di luar ruang” menambah runyam keadaan. Dulu, di era awal Republik Indonesia para politisi yang berseberangan bisa bersitegang di dalam ruang sidang kemudian tertawa santai bercengkerama di luar ruangan. Kini, gambaran itu tak bisa ditemukan lagi pada diri para politisi kita.

Lengkap sudah, perang semua melawan semua.

Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR RI, menulis di Kompas tanggal 24 Juni 2014. Dia mengatakan “Bangsa ini secara potensial dan embrional terbelah menjadi dua kubu yang berhadapan secara head to head. Setiap kubu saling menelanjangi aib dengan keras dan habis-habisan. Kampanye negatif versus kampanye negatif, kampanye hitam versus kampanye hitam, dan fitnah versus fitnah. Mungkin tidak terlalu dramatis jika dikatakan bahwa situasi politik ... ini meskipun baru sebatas diksi dan narasi adalah ... perang semua melawan semua.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline