Lihat ke Halaman Asli

Yang Berduit yang Lolos…

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2013 akhir pada bulan September tepatnya 1 bulan setelah saya menyelesaikan Program Strata 1 di kampus tercinta “Kampus Ungu”, saya mengikuti nasehat keluarga untuk coba ikut dalam test penerimaan CPNS. Sebenarnya saya mengikutinya dengan pasrah (yaaaa kalau lulus Puji Tuhan, kalau gak lulus juga gak apa-apa), karena niat saya waktu itu bukan untuk menjadi seorang PNS. Ketika saya mendaftar di Badan Kepegawaian setempat saya terhenyak melihat bergitu banyaknya orang yang ingin sekali menjadi PNS. Ada beberapa ibu muda yang membawa serta anak mereka yang masih bayi dan membaringkannya di lantai untuk tidur sambil menunggu nama mereka dipanggil untuk proses pemeriksaan berkas (dan saya yakin ibu itu bukan dari daerah setempat). Dalam hati saya mengatakan “sampai begitu kah perjuangan orang untuk menjadi seorang PNS?”

Dalam persiapan test walaupun tidak terlalu berambisi untuk lulus, saya tetap mempersiapkan diri dengan membaca berbagai sumber tentang pemerintahan, belajar dari berbagai buku-buku persiapan test CPNS yang banyak dijual di toko buku. Dan tiba saatnya untuk mengikuti test tertulis. Dalam proses test – pengumuman saya kembali melihat banyak sekali kejadian yang membuka mata dan pikiran saya. Salah satunya, kebetulan saya duduk di sebelah peserta test CPNS tamatan dari jurusan Ilmu Pemerintahan. Jurusan itu menjadi jurusan favorit di daerah saya karena konsep sekolahnya semi militer, katanya disiplin, dll (pokoknya orang tua bakal bangga kalau anaknya bisa masuk di sekolah itu). Selama test berlangsung saya justru tidak melihat sikap yang mencerminkan orang itu tamatan dari sekolah semi militer yang katanya disiplin itu. Salah satunya posisi tubuh yang merebah ke meja pada saat test. Saya yang bukan lulusan sekolah militer saya berusaha untuk tetap tegak dalam mengisi soal-soal test. Timbul pertanyaan dalam hati “apakah ini orang benar-benar lulus dengan jujur, murni, dak pakai sogok dan pintar dalam test masuk sekolah itu? Kok dak mencerminkan sekali”. Tapi yaaa berusaha berpikiran positif (don’t  judge a book from the cover). Hehehe…

Test pun berlalu dan waktunya menunggu pengumuman siapa yang lulus dalam test CPNS. Jadwal pengumuman beberapa kali dirubah (penyebabnya tidak tahu, dan yang mengumumkan dari KEMENPAN). Pengumuman akhirnya dilaksanakan pada tanggal 24 desember 2013 (malam natal). Orang tua saya sangat bersemangat waktu itu dengan membeli koran, kebetulan subuh tanggal itu mereka ke pasar mempersiapkan natal. Saya? Saya masih tidur dengan pulas.. Sesampai di rumah orang tua membangunkan saya dan mengatakan saya tidak lulus.Formasi yang saya lamar hanya diberi kuota 2 orang saja. Jujur saya merasa biasa saja waktu itu. Saya tidak mempermasalahkan saya tidak lulus waktu itu. Awalnya saya cukup bangga juga dengan pemerintah yang menyertakan pula nilai hasil test dalam pengumuman itu.

Beberapa hari kemudian sepulang ibadah natal, saya melihat teman saya mengupload gambar hasil nilai test CPNS ke facebook yang didapatinya dari situs resmi kemenpan. Saya penasaran dengan nilai yang saya dapat ketika test. Saya membuka situs itu dan memasukkan ID yang ada untuk dapat melihat nilai saya. Betapa terkejutnya saya ketika saya melihat bahwa nilai saya LULUS passing grade dan ternyata sama persis dengan nilai peserta yang lulus CPNS peringkat kedua dalam formasi yang saya lamar (kebetulan formasi yang saya lamar kuotanya 2 orang). Timbul banyak sekali pertanyaan dalam diri saya dan keluarga. Apa yang membuat saya tidak lulus? Apakah umur? Apakah universitas? Apakah nilai IPK? dan semua pertanyaan itu sepertinya tidak masuk akal bagi saya karena masa pemerintah melihat umur dalam proses penerimaan CPNS? padalah umur saya sudah sesuai syarat. Masa pemerintah melihat Universitas? Sepertinya universitas tidak menjamin kualitas pribadi seseorang dalam bekerja dan intelektualnya. Masa pemerintah melihat IPK? bisa saja mahasiswa itu tidak pintar di teori namun di praktek. Untuk mendapatkan jawaban itu saya langsung bertanya kepada panitia waktu itu apa yang membuat saya tidak lulus. Dan ternyata jawaban dari panitia ada 1 (satu) kriteria lagi untuk menentukan kelulusan jika nilai sama, yaitu universitas. Kebetulan peserta yang lulus berasal dari Univesitas di jawa dan saya hanya berasal dari Sekolah Tinggi lokal.

Inilah yang membuat saya agak sedikit kecewa dengan proses ini. Kecewa karena menurut saya universitas tidak menjamin kualitas dari pribadi seseorang (apalagi saya dan dia itu dari jurusan teknis). Yang lebih membuat saya kecewa mengapa mahasiswa lulusan jawa lebih mendapat akses kesempatan yang lebih banyak? Bukankah Negara harus adil? Bagaimana dengan orang yang kurang mampu dan tidak bisa membiayai anak-anaknya untuk kuliah di jawa? Apakah mereka tidak bisa lulus CPNS hanya karena kuliah di univ lokal? Kalau begitu, hanya orang yang “berduit” dong yang bisa menjadi CPNS? Yang mampu membiayai anak-anaknya kuliah di universitas di jawa dan mahal? Bagaimana dengan orang yang tidak mampu tapi mempunyai sumber daya yang baik? Dan yang lebih menyedihkan lagi, informasi yang saya dapat sebagian yang lulus bukan putra daerah. Teman-teman saya yang dibiayai pemda setempat untuk kuliah juga banyak yang tidak lulus.. Mungkinkah perlu perubahan system supaya pemerintah bisa adil ke semua warga Negara?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline