Prolog
Di Era modern ini, pola pikir konvensional masyarakat tentang makna dan tujuan pendidikan identik dengan memperoleh pekerjaan, filosofi dan pertimbangan orangtua menyekolahkan anak adalah agar anak memperoleh ijazah dan pekerjaan yang layak dan bahkan mumpuni sesuai dengan investasi yang ditanamkan di sekolah. Menyekolahkan anak adalah investasi jangka Panjang untuk memperoleh pekerjaan yang memadai .
Sebetulnya persepsi demikian tidaklah salah karena muara dari proses Pendidikan itu salah satunya adalah memperoleh pekerjaan sesuai kompetensi dan bidang keahliannya, Namun yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa asumsi masyarakat atau kita semua sudah sedemikian mengakar , memegang anggapan bahwa tujuan sekolah adalah semata-mata untuk mencari kerja? , hakikatnya persepsi ini timbul dikarenakan budaya pragmatisme di kalangan masyarakat dan institusi Pendidikan kita, pragmatism sendiri sebetulnya adalah habitus ekonomi yang telah menjalar ke dalam dunia Pendidikan.
Arus Posisi Pragmatisme Dan Idealisme Pendidikan
Tarik menarik kepentingan antara idealisme yang berbasis pada nilai-nilai akademis berbenturan dengan kepentingan pragmatisme yang berbasis pada nilai-nilai korporasi ekonomis dalam dunia pendidikan, Sejalan dengan pernyataan Dr.M.Agus .Nuryatno dalam artikelnya berjudul " Urgensi Filsafat Dalam Pusaran Pragmatisme , adanya kontradiksi antara dua kutub kepentingan ini, menimbulkan semacam relasi dengan konsekuensi masing-masing, kemungkinan pertama,menjadikan nilai-nilai akademis bagai basis institusi pendidikan,;kedua,menjadikan nilai-nilai korporasi sebagai basis institusi Pendidikan dan ketiga; menyatukan nilai akademis dan korporasi dalam basis institusi Pendidikan, yang mana kedua nilai tersebut diposisikan egaliter dalam institusi Pendidikan.
Memosisikan kedua nilai kepentingan antara idealisme dan pragmatisme dalam institusi pendidikan memerlukan kejernihan berpikir dan kritisisme yang matang karena keduanya memiliki implikasi yang amat serius jika diimplementasikan dalam institusi Pendidikan, Implementasi konkrit dari kedua nilai kepentingan ini bermuara bagaimana hakikat dan makna pendidikan mempengaruhi realitas sosial ataupun sebaliknya.
Nyatanya, Kedua nilai tersebut berkontribusi dalam membentuk kehidupan masyarakat, dan Pendidikan , bahkan gagasan yang lebih menohok adalah "format kehidupan seperti apa yang akan dihadirkan oleh dunia Pendidikan?" pertanyaan retoris ini timbul atas dasar pemahaman kritis atas keyakinan kita bagaimana pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan budaya masyarakat.
Jika menelisik lebih dalam, nilai idealisme dan pragmatisme juga berkontribusi dalam membentuk format Pendidikan bangsa Indonesia, paling tidak terdapat dua implikasi pragmatisme dalam dunia Pendidikan;pertama, ideologi kompetisi dijadikan filosofi praksis Pendidikan, Ketika ini terjadi, Pendidikan kita hanya menelurkan "pemenang" dan "pecundang", karena ideologi kompetisi menekankan pada aspek fight with enemy, maka akan ada yang menang (anak orang kaya dan pintar) dan yang kalah (anak miskin dan kurang pintar),Jika ini terjadi tentu akan menimbulkan ketidakadilan dalam dunia Pendidikan serta justru melahirkan struktur sosial konvensional/ yang lama.
Kedua; orientasi dunia Pendidikan kita cenderung meningkatkan jurusan ataupun fakultas yang praktis-pragmatis yang hanya mengutamakan cara cepat mendapatkan pekerjaan,imbasnya fakultas-fakultas,jurusan ataupun basis Pendidikan yang bernuansa filosofis ataupun yang berbau filsafat diabaikan, padahal secara akademis, nilai-nilai pemikiran yang berasal dari dunia filsafat cenderung biasa memproduksi sesuatu ,teoritis, dan bahkan bisa bernilai praktis jika pemikiran-pemikiran itu digagas dan disusun secara sistematis.
Budaya Pragmatisme saat ini dalam dunia Pendidikan kita amat dominan,gejala-gejala itu ditandai dengan pergeseran academic values menuju corporate values dalam institusi Pendidikan kita, nyatanya academic values seharusnya menjadi basis institusi Pendidikan kita.bagaimanapun nilai-nilai yang berasal dari domain ekonomi telah menggerogoti jantung dunia pendidikan bangsa Indonesia, sehingga tidaklah mengherankan jika banyak institusi Pendidikan di Indonesia berbondong-bondong mengejar sertifikasi ISO, ataupun akreditasi untuk kepentingan subsidi, Institusi Pendidikan kita ngiler dan fasih Ketika berdiskusi tentang efisiensi,profit,produk, dan minimalisasi biaya ,pasar kerja,dll ketimbang berbicara tentang keadilan mengakses Pendidikan, penderitaan ,solidaritas,filantropis,dll. Ini disebabkan karena ideologi Pendidikan kita mengalami pejorative dari basis ideologi koperasi(kerja sama) /idealisme menuju basis ideologi kompetisi yang diadopsi dari nilai-nilai pragmatis.
Budaya pragmatis dalam dunia Pendidikan juga berimplikasi pada proses pedagogis.Ada tiga kategori pengetahuan menurut Jurgen Habermas (1971): teknis,praktis dan emansipatoris, Jika budaya pragmatis yang mendominasi dunia Pendidikan maka pengetahuan Teknik-praktis lah yang akan didisipasikan dalam proses pembelajaran, proses diseminasi Pengetahuan seolah dipisahkan dari proses pembentukannya, dan akibatnya justru menghilangkan proses-proses edukatif yang substantif seperti menumbuhkan curiosity,bertanya,berdialog, dan berdiskusi.