Lihat ke Halaman Asli

Hendriko Handana

Orang biasa, menulis suka-suka

Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (3): Payakumbuh, Pesaing Sejati

Diperbarui: 23 Agustus 2019   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

dokpri

Oleh: Hendriko Handana

Bagian 3: Payakumbuh, Pesaing Sejati

Payakumbuh, April 2003

"Alhamdulillah, Ibu dapat kabar baik. Riko lulus seleksi. Ada kesempatan lanjut ke propinsi." Wajah sumringah Bu Marni masih kuingat jelas sesaat setelah satu bundel surat datang ke sekolah, dari Dinas Pendidikan.

Wajah gembira juga tak dapat kusembunyikan. Syukur kupanjatkan. Aku adalah siswa pertama sekolah kami yang berkesempatan ikut ambil bagian di propinsi.

Segera rasa optimis muncul begitu tinggi. Namun, ambisi tak utarakan pada siapapun kusimpan sendiri. Langkah masih sangat jauh, tahapan seleksipun masih berlapis.

"Tak ada pilihan lain, berjuang hari ini atau tidak sama sekali." Niatku melanjutkan kompetisi.

~~~

Dori dan Evie perwakilan SMA 1, Yeni dari SMA 2, Fauzan utusan SMA 3. Empat orang ini menjadi partner sekaligus sainganku merebut tiket propinsi.

Fauzan, seorang pria berambut keriting. Wajahnya bagiku tak asing. Beberapa waktu sebelumnya kami sempat berkompetisi pada lomba yang lain, kontestasi pakaian pangulu.  Aku sempat meminjam sendalnya yang menurutku lebih serasi. Sendal kulit, disebut sendal datuk. Dengan senang hati dia pinjamkan. Padahal, kami saingan.

Fauzan punya ciri khas tersendiri. Push up lumba-lumba, begitu para senior menyebutnya. Saat kepala naik, pantat montoknya ketinggalan di bawah. Giliran kepala turun, pantatnya masih di atas. Sungguh seni push up yang tak semua orang miliki. Barang langka. Mungkin ini rahasianya lolos seleksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline