Belum lama ini Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) atas perubahan kedua Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk diusulkan menjadi Undang-Undang atas usulan inisiatif DPR RI dan telah mendapatkan persetujuan 9 fraksi untuk dibahas ke rapat paripurna terdekat (dprd.go.id). Ada beberapa poin perubahan dalam RUU tersebut namun yang masih menjadi perdebatan publik adalah soal perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dua periode yang awalnya masa jabatan kepala desa 6 tahun tiga periode sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Jika kita melihat dari sejarah yang ada semakin lama seseorang menjabat maka akan bersikap otoriter dan korup. Para ahli memahami bahwa karakter kekuasaan amat mudah untuk disalah gunakan. Maka munculah konsep pembatasan masa jabatan sebagai bentuk upaya mencegah terjadinya kekuasaan berlebih (abuse of power). Bagi Charles Howard McIllwain, hal ini dimaksudkan agar kekuasaan tidak bertransformasi menjadi diktatorisme sehingga akan membahayakan hak-hak warga yang dipimpinnnya. Semakin lama jabatan kepala desa maka masyarakat semakin lama untuk bisa mengevaluasi kerja kepala desa. Bisa dibayangkan jika jabatan kepala desa menjadi 9 tahun maka masyarakat harus lama menunggu waktu 9 tahun untuk mengevaluasi kinerja kepala desa. Kalau kinerja kepala bagus tidak menjadi permasalahan, lalau bagaimana jika salah memilih kepala desa yang kurang bagus dan harus menunggu waktu 9 tahun.
Salah satu yang menjadi dasar adanya dorongan untuk merevisi Pasal 39 mengenai penambahan masa jabatan adalah kepala desa membutuhkan waktu yang cukup untuk menjalankan program kerja ditingkat desa, karena mereka beranggapan bahwa waktu 6 tahun tidak cukup untuk melakukan dan menuntaskan program kerja ditingkat desa karena waktunya terpotong untuk rekonsiliasi politik setelah terpecahnya suara akibat pemilihan kepala desa. Terlepas dari cukup atau tidak cukup konsep dari kekuasaan adalah sebisa mungkin masyarakat bisa membatasi masa jabatan agar penguasa tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. Secara psikologi kekuasaan itu candu, seseorang tidak akan pernah cukup atas apa yang telah dikuasainya.
Pemerintah desa sebagai satuan pemerintahan terendah ditingkat desa mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjaga demokrasi di Indonesia, yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah para kepala desa berani mengancam partai politik yang sedang menjabat sebagai DPR jika tidak menyetujui adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun, pada saat pemilihan umum serentak di tahun 2024 mengancam akan menghabisi suara partai politik yang tidak mendukungnya (cnnindonesia.com). Memang secara umum kepala desa tidak terlalu power full atas ancaman yang diberikan terhadap partai politik, namun sebagian partai politik beranggapan bahwa ini momen bagi para partai politik untuk mencari dukungan para kepala desa agar bisa mengkondisikan suara ditingkat desa di tahun 2024 nantinya.
Jika kita melihat dari aspek hukum tata negara perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun itu bertentangan dengan konstitusi, konstitusi itu membatasi masa jabatan dengan sesingkat mungkin agar jabatan yang telah diemban itu bisa dievaluasi masyarakat dengan sesingkat mungkin. Menurut Richard S. Kay, konstitusi senantiasa berpusat dan berpeluang pada tujuan menjaga pemerintahan berjalan tertib. Keadaan demikian hanya dapat terwujud apabila terdapat pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah yang dituangkan dalam konstitusi. Konstitusi sebagai sumber hukum meskipun secara eksplisit tidak menyebutkan secara langsung masa jabatan kepala desa, namun founding fathers bangsa Indonesia sudah memberi isyarat paska reformasi bahwa jabatan 5 tahun itu sudah cukup dan dapat dipilih kembali berikutnya selama 5 tahun.
Akibat dari adanya putusan mahkamah konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021 jabatan kepala desa secara jelas adalah 6 tahun tiga periode baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Putusan ini tentunya harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Jika kita memaknai sebuah pembatasan jabatan menurut Sri Soemantri memaknai pembatasan kekuasaan dibagi menjadi dua, yakni pembatasan yang meliputi isi kekuasaannya dan pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan waktu dijalankannya kekuasaan tersebut. Dalam konteks pembatasan waktu, hal ini berkaitan dengan pembatasan durasi dan masa jabatan masing-masing pejabat yang merepresentasikan kekuasaan negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Apabila semangat pembatasan kekuasaan telah disepakati sebagai sebuah konsensus dalam reformasi konstitusi, maka sudah sewajarnya hal yang demikian dimaknai secara mutatis mutandis dengan pembatasan kekuasaan jabatan publik lain di tingkat lokal, termasuk salah satunya adalah kepala desa. Manakala terjadi sebuah permasalahan ditingkat nasional dan lokal, maka kita harus kembali kepada dasar hukum negara kita, yaitu ideologi bangsa dan konstitusi untuk mengkaji bagaimana cita hukum dari perjalanan ketatanegaraan Indonesia.
Sebagai negara yang demokrasi tentunya harus membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat yang lain untuk menjadi pemimpin di desanya, jika masa jabatan kepala desa terlalu lama, maka akan menghambat regenerasi kepemimpinan dan di desa hanya akan dikuasi oleh sekelompok atau segelintir orang saja. Sehingga kita perlu mendorong bagi masyarakat yang lain untuk berkontestasi, sehingga akan mendorong terwujudnya demokrasi yang sehat dan kompetitif. Sehingga sampai saat ini masih belum ada urgensinya untuk menambah masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dua periode.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H