Lihat ke Halaman Asli

Introvert yang Memberontak

Diperbarui: 18 September 2015   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hen, kamu pilih mana. Lembur sampai jam 11 malam atau pergi meeting dengan klien?"

Seandainya pertanyaan di atas dilontarkan 8 tahun yang lalu, saya pasti memilih untuk lembur. Tetapi kalau dilontarkan detik ini juga, dengan mantap saya akan memilih meeting dengan klien.

Kenapa bisa begitu?

Aku adalah seorang introvert yang cenderung ekstrim. Jejak hidupku menceritakan hal tersebut. Waktu SMA aku mengambil jurusan A1 (Fisika) yang notebene banyak hitungan. Masuk kuliah, aku ambil komputer. Pekerjaan pertama? Tidak jauh-jauh. Dengan alasan idealis, aku menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan komputer seperti programming, system, trouble shooter, dll. Bisa dikatakan, aku sangat menikmati percumbuanku dengan 'mesin'.

Keseharianku juga mengisahkan hal yang sama. Aku lebih suka mengurung diri di kamar dari pada berha-hi-ha-hi dengan banyak orang. Ketika diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan yang mengharuskan aku berinteraksi dengan banyak orang, aku cenderung menolak. Aku aman sekali dan merasa 'hidup' kalau sudah mengurung diri di kamar sambil membaca, merenung, otak-atik games, dkk.

Jadi tidak heran saat aku diberi dua pilihan antara lembur dan meeting, aku akan memilih lembur?

Terus bagaimana ceritanya kalau sekarang aku bisa lebih memilih ketemu orang? Kuncinya satu: adaptasi.

Sering aku saksikan kepada orang bahwa aku termasuk beruntung bergabung sebagai orang IT di perusahaan jasa pelatihan (training provider). Tugasku di sana selain merapikan sistem, aku juga mendapat mandat untuk mengembangkan materi pelatihan (research and development). Karena tugas itu, mau gak mau aku harus sering mampir di kelas-kelas pelatihan kalau-kalau ada development yang bisa dilakukan untuk materi pelatihan yang dibawakan.

Awal ketika diminta untuk hadir di kelas, bisa ditebak. Sepanjang hari aku mencari aman dengan berlindung di balik laptop, di kursi paling pojok belakang. Kalau tidak ada keperluan yang mendesak -panggilan alam ke toilet- aku tidak akan beranjak. Menyapa orang? boro-boro. Nikmati snack waktu coffee break pun dilakukan secara senyap.

Lama kelamaan seiring berjalannya waktu, aku mencoba keluar dari sangkar amanku. Aku pun mulai membuka diri, belajar menyapa orang, mengajak bicara, ikut dalam diskusi. Aha! Aku merasa pengalaman yang berbeda. Mataku dibukakan bahwa berkomunikasi dengan orang lebih asyik dari pada memacari mesin. Sejak itu aku pun MEMUTUSKAN untuk belajar berkomunikasi dengan orang. (Prosesnya mirip dengan konsep Learn, unlearn, relearn--baca di http://www.kompasiana.com/hendribun/belajar-berenang-saat-kepala-3-it-s-possible_55f7dd96d29273d707600b42).

Ala bisa karena biasa. Pepatah itu terjadi bagiku. Seiring waktu aku pun berhasil keluar dari tempurung introvertku. Jadilah diriku seperti sekarang ini. Pribadi yang dikenal orang lain mudah dalam bersosialisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline