Lihat ke Halaman Asli

Menyangsikan Ormas ANNAS, Jangkar Radikalisme yang Mengancam Intelektualisme Kita

Diperbarui: 8 Mei 2017   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Bedah buku terbaru karya Haidar Bagir yang berjudul “Islam Tuhan, Islam Manusia” di IAIN Surakarta yang rencananya dilangsungkan Selasa (9/5) ditolak oleh beberapa orang yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS). Konon, mereka mengancam akan mendemo acara itu dengan mendatangkan 3000 massa. Keberatan mereka adalah lantaran Haidar Bagir dituduh Syiah dan khawatir acara itu menjadi penyebaran paham Syiah.

Sebelumnya, kita mengapresiasi sikap IAIN Surakarta melalui rektornya, Mudofir yang telah memastikan untuk tetap menyelenggarakan acara tersebut. Sebab, persis seperti yang diutarakan Mudofir bahwa, “kebebasan akademis harus dijamin.”

Kampus adalah “ruang ilmiah”, di mana segala hal yang dipersangkakan memang seharusnya didiskusikan secara ilmiah di sana agar clear. Oleh karena itu, alih-alih memenuhi tuntutan itu, Mudofir justru mempersilahkan mereka untuk ikut sebagai hadirin dan perwakilannya maju sebagai pembicara dalam acara tersebut. Apalagi, tawaran Mudofir itu disambut baik oleh Haidar.“Alhamdulillah. ANNAS minta diberi kesempatan menyanggah. Saya sampaikan, saya amat mendukung. Beginilah seharusnya. Pemikiran dilawan pemikiran,”cuit Haidar di akun Twitter pribadinya @Haidar_Bagir.

Kita justru prihatin dengan respon ANNAS, di mana pertama, mereka yang malah bersedia mempersilahkan bedah buku itu dilanjutkan asal tanpa mendatangkan Haidar Bagir. Permintaan itu tentu ditolak, sebab itu bertentangan dengan prinsip ilmiah: bedah buku seorang penulis tapi melarang penulisnya datang untuk mempersentasikan bukunya. Padahal, sebuah bedah buku digelar justru untuk mendiskusikan buku itu dengan penulisnya: latar belakang penulisannya, saran dan kritik, dll. Kedua,Mu’inudinillah (Dewan Syariah Kota Surakarta) yang dipersilahkan menjadi pembicara pembanding justru menolak undangan itu. Padahal kesempatan itu bisa dijadikan momentum bagi ANNAS melalui perwakilannya untuk membuka dialog dengan Haidar secara ilmiah: mengkonfirmasi tuduhannya, dll.

Mengenai kekhawatiran ANNAS, sebenarnya bisa diselesaikan oleh mereka dengan elegan dan ilmiah melalui tiga langkah, yakni pertama,terlebih dulu membaca buku karya Haidar tersebut. Jika ANNAS melakukan langkah ini, bisa jadi kekhawatiran itu teratasi, sebab dalam buku tersebut sebenarnya tak ada isi yang bernuansa dakwah Syiah. Alih-alih, justru Haidar dalam beberapa bab buku itu mengajak Sunni-Syiah berdialog agar tercipta ukhuwah islamiyah(persaudaraan Islam) di antara keduanya, sebagaimana telah dilakukan ulama-ulama dunia. Sebab, di tengah krisis yang menimpa dunia Islam dalam satu dekade ini, ukhuwah islamiyah adalah solusi untuk membawa dunia Islam dari krisis. Karena itu, dalam wawancara yang dimuat buku itu, bahkan Haidar mengkritik Syiah yang mendakwahkan Syiah pada Sunni lantaran menurutnya itu telah dilarang oleh ulama-ulama Syiah dunia, seperti Ayatullah Ali Sistani di Irak. Kedua,jika mereka masih khawatir di bedah buku itu Haidar tak berbicara sebagaimana isi bukunya, mereka bisa melalui langkah selanjutnya dengan mencari informasi tentang bedah buku itu di tempat-tempat lain beberapa waktu lalu, sehingga mereka bisa tahu apa kekhawatiran itu berdasar atau tidak. Ketiga,jika ANNAS masih juga khawatir, misalnya dikhawatirkan di Solo nanti Haidar takkan seperti di tempat lain, dalam artian dia akan berbicara soal Syiah, maka –kembali ke solusi di atas- ANNAS bisa menerima tawaran dan undangan IAIN Surakarta untuk hadir sebagai hadirin dan Mu’inudinillah sebagai pembicara, sehingga jika kekhawatirannya terjadi akan bisa langsung mengkritisinya di forum, baik melalui wakilnya di kursi pembicara atau melalui orang-orangnya yang hadir sebagai hadirin.

Sebenarnya, terbentang “jalan” begitu luas untuk kita mengenal siapa Haidar, pemikiran, hingga mazhabnya sekalipun. Ia telah berkiprah dalam dunia literasi dan pendidikan lebih 30 tahun. Ada sederet buku dan ratusan artikel yang telah ditulisnya. Ia sudah mengajar ribuan mahasiswa yang bisa ditanya dan diajak diskusi tentang gurunya itu. Ia bahkan memiliki website dan akun Twitter pribadi yang bisa diajak komunikasi setiap saat. Sessekali, di tengah malam, ia bahkan masih membalas pertanyaan followersnya tentang tasawuf, di mana itu menjadi fokusnya hampir satu dekade ini. Akhirnya, di acara bedah bukunya nanti, seperti ditulisnya dalam salah satu cuitannya di Twitter, ia sangat terbuka untuk diajak tabayun (berdialog), baik untuk diberi saran, kritik sekalipun, atau sekadar diskusi, ngobrolmaupun cuma silaturahmi. Tapi, entah kenapa ANNAS malah memilih untuk melarangnya menebar ilmu.

Akhirnya, Pak Haidar dan Pak Mudofir terus berkomitmen menjalankan acara tersebut dan terus mengajak pihak ANNAS hadir dan Pak Mu’inudinillah menjadi pembicara. Keduanya malah menyayangkan jika Pak Mu’inudinillah tak hadir esok Selasa, karena acara tersebut insyaAllah akan terlaksana. Itu berarti bahwa Pak Mudofir telah bertekad menjaga marwahkampus sebagai “ruang ilmiah”, dan Pak Haidar sedang mendakwahkan “Islam Cinta”-nya dalam wajah perlawanan terhadap intoleransi dengan cara yang terhormat. Sebuah sikap yang mengingatkan kita pada kata-kata Nyai Ontosoroh pada Minke di “Bumi Manusia”karya Pram: “Kita harus melawan, semampu kita, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline