Lihat ke Halaman Asli

Seharusnya Kita Malu dengan Demokrasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada seorang anak yang dari dahulu selalu meminta sebuah motor pada ibunya, waktu itu ibu nya tidak menghiraukan permintaan anaknya tersebut. Sang anak pun merengek, menangis, mengurung diri di kamar sampai memecahkan barang-barang dirumahnya supaya ibu membelikannya sepeda motor, namun sang ibu yang juga keras kepala tetap pada pendiriannya. Bertahun-tahun pun berlalu, sang ibu melihat keadaan sudah mulai berubah, sepeda motor sudah bukan lagi barang mewah, hampir semua orang menggunakan motor untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Ibu pun akhirnya membelikan motor kepada anaknya.

Ketika motor sudah tiba, sang anak sangat girang bukan main, hal yang diinginkannya akhirnya tercapai. Setiap hari anak tersebut menaiki motor tersebut untuk kegiatan sehari-harinya, seiring berjalan waktu motor tersebut di gunakan sang anak untuk kebut-kebutan di jalan hingga menganggu warga sekitar, keliling kota hingga larut malam dan hal negatif lainya. Kemudian entah mengapa sang anak mulai tidak peduli dengan motornya. Bertahun-tahun motornya tidak pernah digunakan, sampai berdebu dan karatan rupanya sang anak telah lupa dengan motor yang dulu diperjuangkannya karna menurut sang anak motornya sudah tidak menarik dan membosankan.

Ibu kesal melihat tingkah anaknya, akhirnya ibu ber-inisiatif untuk menjual motornya karena kondisi keuangan keluarga yang tidak baik. Uang penjualan motor lumayan bisa menutupi kekurangan keuangan sehari-hari. Ketika sang anak mengetahui motornya di jual, ia marah bukan kepalang. Sang anak tidak terima akan perbuatan ibunya dan berusaha kembali mendapatkan motornya dengan cara apapun.

Ibu pun menjelaskan, bahwa alasan menjual motornya karena motornya sudah tidak pernah digunakan dan sekalinya di gunakan pun untuk hal yang buruk maka ibu menjualnya, di tambah kondisi keuangan yang buruk. Anak tetap marah dan meminta hak motornya kembali karena sang anak merasa kondisi keuangan keluarga memburuk karena ibu hobi belanja yang berlebihan hingga uang yang seharusnya untuk kehidupan sehari-hari hanya di gunakan demi kepentingan ibu. Akhirnya ibu dan anak tersebut sampai saat ini masih berdebat mempertahankan kemauannya.

***

Tentu dari cerita di atas kita akan lebih bersimpati pada sang ibu, namun bukan berarti sang ibu benar karena ia juga suka menghabiskan uang demi kepentingannya sendiri. Ya, cerita tersebut adalah analogi dari penggambaran saya tentang keadaan Indonesia saat ini.

Ibu di cerita tersebut saya analogikan pemerintah, anak adalah rakyat Indonesia dan sepeda motor adalah demokrasi atau lebih tepatnya demokrasi dalam hal hak memilih pemimpin, karena demokrasi mempunyai cakupan yang luas sekali jika di analogikan dalam satu hal akan sangat sulit.

Bagaimana kita melihat sang anak ingin sekali motor yang berarti rakyat Indonesia menginginkan demokrasi yang selama 32 tahun terkekang rezim orde baru. Ketika demokrasi telah berlaku di Indonesia, justru rakyat Indonesia tidak menggunakan demokrasi dengan baik, kemudian kita mengenal istilah “money politic”, suap, parpol yang lebih mementingkan kepentingan golongan, kampanye hitam dll.

Kemudian lebih buruknya sebagian besar rakyat Indonesia tidak menggunakan hak suaranya dalam memilih, apatis dan tidak mau tau bahkan tidak tahu kapan Pilkada daerahnya berlangsung, selalu skeptis pada calon-calon kepala daerah dan tidak berpartisipasi dalam Pilkada. Namun ketika hak memilihnya (demokrasi) di cabut, rakyat indonesia marah dan meminta hak memilih kembali.

Memang hal yang saya gambarkan di atas tidak bisa di generalisir pada semua rakyat Indonesia, namun coba tanyakan dalam hati masing-masing, kita adalah rakyat dengan tipe yang menggunakan demokrasi dengan cara kotor atau kita yang tidak peduli lalu tidak menggunakan hak pilih. Biasanya kader partai atau organisasi yang berhubungan langsung dengan partai dari calon kepala daerah berasal yang menggunakan celah-celah kotor demokrasi dan masyarakat non partai adalah yang apatis dan tidak menggunakan hak pilihnya.

Jujur saya adalah yang termasuk tipe apatis pada saat Pilkada bahkan tidak menggunakan hak pilih. Saya baru simpatik pada pemilu Presiden karena memilih kepala Negara dan tentu karena giringan media yang selalu memberitakan pemilu presiden. Bisa dibayangkan jika pemilukada yang euphoria-nya tidak sebesar pemilu presiden apalagi di daerah terpencil, hanya orang yang bersangkutan langsung dengan partai pengusung calon kepala daerah yang peduli pada Pilkada, itupun karena ingin memenangkan kepala daerah.

Jujur saya bukan pendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD namun rasanya hati ini malu jika ingin marah-marah karena UU Pilkada di sahkan. Diluar politik yang kotor dan perebutan kekuasaan, menurut saya Indonesia belum menemukan model demokrasi yang cocok untuk keadaan rakyat dan pemerintahan Indonesia. Kita tidak bisa meniru demokrasi ala barat atau ala timur, demokrasi yang kita terapkan harus demokrasi ala Indonesia sesuai keadaan rakyat Indonesia.

Ada yang bilang demokrasi Indonesia adalah demokrasi pancasila. Jika kita mencoba menilik pancasila yang mulai terlupakan dalam sila ke-empat berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Seharusnya sila ke-empat tersebut bisa mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Permusyawaratan dan perwakilan dalam hal ini adalah DPRD, seharusnya jika ideologi kita pancasila tidak menjadi masalah dengan pemilihan tak langsung, karena kita sebagai rakyat setuju di pimpin oleh perwakilan.

Kemudian yang menjadi masalah, apakah perwakilan yang mewakili rakyat bisa berlaku bijak dan hikmat dalam memimpin?. Saya rasa 90% rakyat Indonesia akan berkata “tidak”. Rakyat telah kehilangan kepercayaan akan DPRD. Jika keadaan seperti ini apakah kita boleh mengamalkan sila ke-empat dalam pancasila, dengan mendukung Undang-Undang Pilkada? Saya rasa rakyat Indonesia sudah sangat pintar untuk menilai, rakyat tak akan menyerahkan hak pilihnya pada sekumpulan orang di DPRD. Ternyata demokrasi pancasila pun tidak cocok di terapkan di Indonesia. Rasanya Indonesia harus terus berbenah dan evaluasi untuk merumuskan demokrasi yang cocok, layaknya pencarian jati diri bukan hal yang cepat dan mudah untuk menemukannya.

Kemudian mengingat cerita di awal tulisan yang ternyata sang ibu sering menghabiskan uang yang seharusnya untuk urusan keluarga demi kepentingannya sendiri, maka dari itu sang anak tidak percaya pada ibunya ketika motornya di jual, seberapapun ia mengabaikan motornya ketika ia tahu motornya dijual dan digunakan demi kepentingan yang bukan kepentingannya, pasti anak manapun akan tidak terima. Sama halnya seperti rakyat yang tidak akan terima jika hak suaranya di ambil oleh DPRD

Di sahkannya UU Pilkada seharusnya menjadi tamparan untuk kita yang apatis pada pilkada dan untuk kita yang suka bermain kotor dalam pilkada. Tamparan ini seharusnya akan selalu membekas sampai kita mulai menyadari bahwa seharusnya pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang harus dijalankan dengan baik dan benar demi kepentingan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline