Bagi kalangan guru tentu tidak asing lagi dengan program guru penggerak. Program ini merupakan program kepemimpinan bagi guru agar menjadi pemimpin dalam pembelajaran. Kegiatan pendidikan guru penggerak meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi dan pendamping selama 9 bulan bagi calon guru penggerak.
Sedangkan bagi kalangan kontra terhadap program ini mengatakan bahwasannya guru penggerak merupakan program yang tidak berguna. Lebih banyak cuman sibuk gaya-gayaan dengan komputer atau sok paling eksis dengan aplikasi pembelajaran.
Dan mirisnya lagi, di saat mengikuti kegiatan tersebut malah sering bolos jam mengajar dan mengorbankan siswa. Akhirnya, siswa tidak dapat menerima pembelajaran saking sibuknya guru mengikuti program tersebut.
Setelah selesai mengikuti program guru penggerak, malah kualitas guru tidak berkembang. Guru justru masih menggunakan sistem lama. Seakan mengikuti program tersebut hanya untuk formalitas semata dan ajang gaya-gayaan biar dibilang keren.
Kesibukan calon guru penggerak (CGP) dalam mengikuti program ini membuat beberapa oknum tidak ingin mengikuti program tersebut, lantaran sering kali didapati guru yang mengikuti program guru penggerak malah meninggalkan tugas utamanya yakni memberikan ilmu untuk siswa.
Yang lucunya dari program guru penggerak adalah proses seleksinya yang terbilang panjang. Hal ini membuat program guru penggerak hanya diikuti oleh guru tertentu saja yang terpilih.
Padahal seharusnya, program guru penggerak harus menggerakkan dan menargetkan guru yang masih ketinggalan dalam proses pembelajaran kepada siswa. Itulah yang seharusnya diutamakan dalam proses pendidikan agar diharapkan mereka bisa berkembang lebih baik lagi. Bukan malah memilih mereka-mereka yang tertentu saja.
Proses seleksi guru penggerak ini kemudian menimbulkan kastanisasi dalam lingkup pendidikan. Perlu kita ketahui kalau tidak semua guru itu sama dan dipastikan ada saja guru yang kesulitan dalam mendapatkan kesempatan dan akses yang sama dalam mengikuti program tersebut.
Adanya proses seleksi panjang dalam kebijakan guru penggerak malah bertolak belakang dengan cita-cita kesetaraan Bapak Pendidikan KI Hadjar Dewantara.
Dulu di saat Ki Hadjar Dewantoro membuat Taman Siswa, tujuannya adalah untuk menentang adanya praktek pendidikan yang diperkenalkan oleh kolonial Belanda di mana sebagai politik etis.
Politik etis Belanda waktu itu hanya membuat sekolah bagi kaum bangsawan Eropa. Jadi, lahirnya Taman Siswa saat itu bertujuan dalam melawan sistem kasta dalam dunia pendidikan yang terjadi kala itu.