SPIRIT. Masih segar dalam ingatan, spiritku waktu kecil bagai anak panah yang lepas dari busur. Spirit yang membakar jiwaku untuk memutuskan rantai jaring warisan kolonial yang telah memperbudak leluhurku, bahkan memapar stigma "bodoh". Apalagi, yang menyakitkan dan menyesakkan dada "cap" yang selalu terngiang-ngiang di telingaku.
"Dasar bodoh, mental kuli!"
Potret anak negeri yang tak berharkat dan selalu dipandang remeh oleh bangsa lain. Mau bukti? Lihat tuh TKI yang diexport hampir 100 persen sebagai pembantu rumah tangga atau buruh kasar. Bahkan, tidak sedikit anak sekolahan, tapi hanya bisa jadi budak, buruh pabrik, buruh kebon, kuli panggul dan pekerja kasar lainnya. Aku geram! Mengapa itu bisa terjadi?!
"Kau harus makan sekolahan yang bener, kalau kau tidak mau jadi kuli!" ucap Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru SD-ku memberi motivasi.
Makanya, aku pun kelak tak ingin jadi budak.
"Aku nggak ingin bodoh, mental kuliii! Aku juga gak ingin jadi bahagian bangsa kuli!" anganku. "Aku ingin buktikan, aku mampu!"
Namun kala itu, waktu aku kecil. Aku menguatkan diri setengah berlari di bawah terik sinar matahari yang membakar kulitku. Wajahku begitu tegang, dadaku berdetak tak karuan.
Apalagi hatiku, diliputi perasaan gugup meniti asa. Aku tak sendiri berburu, berduyun-duyun orang seusiaku, bahkan tidak sedikit orangtua turut mendampingi putra harapannya menerobos pintu gerbang sekolah negeri impian. Tidak sedikit pula memperlihatkan guratan raut wajah yang letih, mereka terlihat mempunyai pengharapan besar yang sama denganku.
Mereka tidak ingin cikal-bakalnya mewarisi guratan wajah kuli yang sama dengannya. Aku pun berebut tempat menyusuri koridor sekolah yang terasa cukup panjang mengitari deret ruang kelas yang berbentuk leter "U".
Siang itu adalah hari yang sangat penting bagiku, kesempatan sebagai seorang anak ingin mengubah garis nasib keturunan, setelah dua generasi di tanah Deli, terpapar sebagai kuli. Namun, tiba-tiba aku mengalami peristiwa yang mengejutkan, rintangan pertamaku.
Braaakkk...!