Kamis, 1 Juli, 1900 menapak tahun ke-48. Wajah Rafi'ah secerah mentari pagi. Murid-murid Perguruan Diniyyah Puteri pun bergirang hati. Sepekan lagi Ramadan, libur empat puluh lima hari.
Murid-murid pulang kampung dibelai Rafi'ah yang berpakaian anggun. Sepatah nasihatnya mengalun. Hanya angin yang mendengar desahan doa Rafi'ah dalam usia 76 tahun.
Jika angin mampu berkata, murid-murid itu tak ingin pergi. Rahmah El-Yunusiyyah akan mendekapnya sepanjang hari.
Kamis, 1 Juli, sebelum tenggelam mentari. "Huda, Gaek sekarang sudah bersih, tidak ada daki lagi di seluruh badan Gaek. Segala kotoran yang terselat-selat sudah terangkat semua," lirih Rafi'ah terdengar cicitnya. Cicit pertamanya yang masih berumur setahun mungkin hanya tahunya disuruh mandi.
Malam hari, semilir angin mengabarkan batuk Rafi'ah di kamar mandi. Mariah, anak perempuan tertuanya, terperanjat memandang Ummi. Batuk tak terkendali, suara Rafi'ah terbawa angin dan tak mampu berucap lagi.
Sungguh, Tuhan lebih mengerti. Lunglai di atas kasur, suara Rafi'ah hanya tertinggal, "Laa ilaaha illallaah."
Malam Jumat, 1 Juli 1948. Rafi'ah telah pergi. Namun, peninggalannya terus berarti. Apa pun, hartanya, jiwanya, tanahnya!
Di atas tanahnya, Rahmah mendidik beribu-ribu perempuan. Di atas tanahnya, Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Di atas tanahnya, murid-murid Perguruan Diniyyah Puteri tetap berseri menawan.
Kamis, 1 Juli 2021. Adakah Rafi'ah, kita kenang? (Hendra Sugiantoro, Yogyakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H