Lihat ke Halaman Asli

Golkar yang Tak Kunjung Padam

Diperbarui: 15 Agustus 2016   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjadi penguasa tunggal di masa Orde Baru, namun sempat menghadapi sakaratul maut saat reformasi 1998. Tahun 1998-1999 menjadi saat yang tepat untuk menghabisi Golkar. Golkar dicaci maki, Golkar dihujat habis-habisan semua yang berbau Golkar dimusuhi. Saat itu Golkar layaknya seorang petinju yang sudah kehabisan tenaga, lebam-lebam, kelelahan dan tinggal 1 hook keras yang mendarat telak di wajah yang diperlukan untuk meng KO nya. Namun sayang momentum tersebut  lepas dan Golkar dengan semua luka dalam dan tubuh yang tercabik cabik, bisa lolos dari kematiannya. Mungkin karena banyak politisi yang terjebak euforia kebebasan setelah 32 tahun sehingga lebih sibuk untuk bagaimana membuat partai baru. Mungkin juga para aktivis disibukkan dengan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat. Akhirnya “pengadilan” buat Golkar terlupakan.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi Presiden RI ke 4 pernah berusaha membubarkan Partai Golkar, akan tetapi saat itu bukan tahun 1998 atau 1999. Golkar walaupun tidak sekuat jaman Orde Baru, sudah kembali dengan segala potensinya. Golkar sudah menyusun ulang kekuatannya. Bahkan akhirnya pada era reformasi Golkar sanggup menjadi partai papan atas di Indonesia. Pun sejarah membuktikan, Gus Dur lah yang tergusur.

Cobaan berat kembali dihadapi Golkar pada beberapa tahun terakhir ini. Hal ini terutama berpusat pada sang mantan ketua umum Aburizal Bakrie. Pria yang akrab disapa dengan Ical ini menjadi sosok yang kontroversial. Kasus Lumpur Lapindo dan dugaan penggelapan pajak yang menimpa Ical dituding menjadi salah satu faktor menurunnya kembali pamor Golkar. Hal ini diperparah dengan dualisme kepengurusan yang berkepanjangan. Banyak yang memprediksi pada 2019 Golkar akan kembali terpuruk sama seperti tahun 1998.

Bukan Golkar namanya bila habis begitu saja. Dengan segala intrik, permufakatan dan lain sebagainya kedua pihak yang bertikai di Golkar akhirnya sepakat. Singkat kata terpilihlah Setya Novanto (Setnov) sebagai Ketua Umum Golkar. Nama yang ternyata tidak kalah kontroversial dibanding Ical. Setnov sudah berkibar sejak jaman orde baru sebagai politisi yang lihai dalam lobi lobi politik dan bisnis. Semuanya terbongkar dalam kasus papa minta saham. Terpilihnya Setnov diikuti juga dengan masuknya nama-nama “populer” di kepengurusan Golkar seperti Yahya Zaini, Nurdin Halid, Fahd El Fouz Arafi, dan Sigit Haryo Wibisono. Nama-nama ini sebetulnya berpotensi menghancurkan Golkar.

Untungnya Golkar memiliki Setnov yang sangat lihai. Sadar akan kontroversi yang meliputi dirinya dan partainya, Setnov langsung banting setir untuk mendukung penuh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan akan mengusung Jokowi sebagai Presiden di Pemilu 2019. Tidak cukup sampai disitu Golkar pun mendukung Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Golkar sadar Jokowi dan Ahok masih menjadi “media dan netizen darling”. Dengan mendukung Joowi Ahok diharapkan pamor Golkar akan membaik. Sampai saat ini hal tersebut mulai membuahkan hasil. Suara-suara yang mencaci Golkar dan pengurusnya mulai sayup-sayup sampai. Bisa dibilang sebagian haters Golkar memang kelompok media dan netizen yang pro Jokowi Ahok, sehingga manuver Golkar lumayan bisa membungkam haters Golkar. Lebih jauh lagi, dengan manuver ini Golkar mungkin saja mengharapkan dukungan dari simpatisan Jokowi Ahok. Kita tahu jumlah simpatisan Jokowi Ahok yang belum menentukan partai pilihan masih sangat besar. Ini menjadi target realistis Golkar. Ujung-ujungnya nantinya bakal banyak yang percaya bahwa “Suara Rakyat Suara Golkar”.

Golkar pun melihat bahwa Jokowi sudah mulai “kurang sreg” dengan PDIP. Maka dukungan Golkar akan makin membuat Jokowi percaya diri untuk “menjaga jarak” dengan PDIP. Pun dengan Ahok, yang merasa kurang yakin dengan jalur independen. Uluran tangan Golkar tentu disambut mesra Ahok. Golkar, Jokowi, Ahok. Trisula yang saling memberi dan menerima. Golkar perlu menaikkan pamor dan ingin membungkam para haters (terutama dari simpatisan Jokowi Ahok). Sedangkan Jokowi Ahok perlu Golkar yang punya banyak pengalaman dan punya jaringan bisnis dan politik yang menggurita di negeri ini. Jokowi Ahok akan sangat terbantu dalam menjalankan roda pemerintahan bila Golkar berada di pihak mereka.

Akhirnya kasus papa minta saham, kasus pajak dan lumpur bapak kami sudah banyak yang melupakan. Apalagi sama Nurdin Halid, Yahya Zaini, Fahd El Fouz Arafi, dan Sigit Haryo Wibisono. Tahun 2019 Golkar terpuruk? Saya lebih percaya PDIP, PKS Gerindra, PPP yang lebih turun suaranya karena masih ada sosok seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Desmond Mahesa, Rieke Dyah Pitaloka, Hasto dan lain-lain “yang bersedia” menjadi pengganti Setnov, Ical, Tantowi, Nurdin Halid sebagai bahan cacian di media terutama media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline