Lihat ke Halaman Asli

Hendra Purnama

Seniman yang diakui negara

Sebuah Ruang Tunggu, Tempat Kita Bicara Segala Hal yang Bukan tentang Kita

Diperbarui: 6 Desember 2022   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: freepik.com

Terang sudah hampir menyapa, ketika aku dan kamu merasa baru sekejap duduk bersama. Kita memandangi jendela yang sama, memandangi dedaunan yang sejak awal bergoyang dimainkan angin malam, ditingkahi cahaya bulan yang menyusup di balik awan.

"Malam ini bulan purnama", katamu. Aku mengangguk tanpa menoleh, aku tetap memandang jendela. Aku ingin mengawasi malam di luar sana, aku khawatir saat aku berpaling menatap wajahmu, semua personamu akan masuk mereguk kesadaranku dan membuat malam berlalu begitu saja tanpa kesan.

"Kamu lihat dedaunan itu?" Tanyamu sambil menunjuk dedaunan yang terlihat di balik jendela, aku mengangguk, "Kamu tahu warnanya?" tanyamu lagi. Aku mengangguk, lalu kamu menjawab sendiri pertanyaanmu, "Merah, merah kekuningan, di siang hari. Indah sekali. Aku selalu suka mereka saat musim gugur..." Kamu terus bicara, dan aku mendengarkan. Selalu saja itu kita lakukan bermalam-malam. Bicara tentang apapun yang bukan tentang kita berdua. Kamu yang bicara, aku yang mendengarkan,

"... ketika dedaunan itu terjatuh, dalam tenang, mereka jatuh dengan kepasrahan, melayang, memenuhi takdirnya dalam diam."

Kamu terus berkisah dengan suaramu yang lembut dan menenangkan. Aku ingin memejamkan mata, tapi aku takut ketika membuka mata, kamu sudah tak ada. Aku tak ingin bersusah payah mencarimu, bukan karena tak cinta, tapi bukankah lebih baik menggenggam tanganmu saat engkau ada daripada menggantungkan harapan pada jarak yang tak kasat mata?

Namun saat itu, pada satu titik ketika aku sedang mendengarkan suaramu, kamu terdiam. Betul-betul terdiam. Membuatku menerka-nerka apa yang ada di pikiranmu. Namun sejauh apapun terkaanku, selalu yang terbayang adalah hal-hal menyenangkan. Aku aku pernah bisa membayangkan dirimu berpikiran hal-hal jahat. Kamu adalah kamu, dengan kesederhanaanmu, dengan kesukaanmu bercerita, dengan segala sahaja, aku selalu percaya kamu adalah kebaikan itu sendiri, yang diciptakan Tuhan dalam udara surga.

Pada detik ini, aku berharap bisa menghentikan waktu, semata-mata agar pagi tak pernah datang, karena aku tahu apa yang terjadi ketika embun basah kelak menyapa. Namun aku diam saja, tak kuutamakan pikiran itu padamu karena aku tahu dirimu hanya akan tertawa, dan membiarkan pemikiran itu menguap sia-sia. Kamu tidak pernah berkhayal, kamu orang paling realistis yang pernah kuajak bicara. Dan karena itu aku suka.

Lalu pagi pun datang, aku tak bisa menahan malam. Aku tetap duduk diam, menatap jendela. Melihat daun-daun kemerahan tertimpa cahaya, beberapa helai daun jatuh, perlahan, seperti gerak lambat yang dipersiapkan oleh alam. Kau sudah tak ada di sampingku, betapa cepat kamu pergi, meninggalkan aroma bunga di ruanganku serta siluet payung merah yang tersamar oleh embun di kaca jendelaku. Namun aku tetap bisa melihatmu. Menjauh. Melangkah membelah guguran daun yang makin lama makin kerap.

Perlahan, aku coba mengingat pembicaraan kita tadi malam. Namun ternyata sulit, semua menjadi samar seperti mimpi yang perlahan memudar. Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata. Aku tahu satu saat entah kapan, dirimu pasti akan kembali pulang.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline