Lihat ke Halaman Asli

Hendra Purnama

Seniman yang diakui negara

Hasil Piala Dunia 2022: Inggris Libas Iran 6-2, Memulihkan Kejayaan Britania

Diperbarui: 23 November 2022   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anne-Christine Poujoulat/Agence France-Presse via Getty Images

Rasanya kita sudah mulai agak bosan membahas Inggris dengan segala harapannya untuk berjaya di kompetisi antara negara. Bagaimana tidak, berbagai campaign digelar, berbagai taktik dibahas, pemain bintang diangkat dan diulas media, tetapi sampai kini praktis gelar prestisius terakhir bagi Inggris hanyalah Piala Dunia 1966. Setelahnya? Gelar kehormatan sepak bola seperti menjauh.

Di Piala Dunia, selain juara 1966, prestasi tertinggi Inggris hanya posisi empat di tahun 1970 dan 2018. Paling banyak mereka langganan perempat final: 1954, 1962, 1970, 1986, 2002, dan 2006. Kisah perjalanan Inggris di setiap turnamen selalu saja sama: skuad mantap, kualifikasi hebat, tapi berakhir dengan prestasi jeblok. Begitu terus berulang dari tahun ke tahun.

Misalnya saat ini. Inggris datang ke Qatar dengan perpaduan sempurna antara pemain bintang macam Kyle Walker, Kieran Trippier, Harry Maguire, Harry Kane, Raheem Sterling, dan Jack Grealish, dipadukan dengan anak-anak muda macam Jude Bellingham, Phil Foden, dan Bukayo Saka. Artinya skuad sudah mantap, lalu prestasi kualifikasi? Jelas hebat.

Tercatat Inggris jadi juara Grup I, meraih delapan kemenangan dan tidak pernah kalah, mencetak 39 gol dan hanya kebobolan tiga. Sekalinya menang, skornya juga tidak main-main, termasuk salah satunya adalah mencukur San Marino 10-0.

Kalau melihat prestasi di babak kualifikasi, bisa dibilang Gareth Soutgate—pelatih Inggris—seolah menjadikan babak kualifikasi kemarin hanya sebagai ajang bersenang-senang.

Hasil ini pun membuat fans Inggris kembali—lagi—menyuarakan kerinduan "Football's Coming Home". Mereka berteriak menyuarakan satu tuntutan: "Go on England, you can lead the world again!" Sebuah tuntutan yang wajar mengingat Inggris sudah terlalu lama paceklik gelar. Sampai lama-lama ide bahwa Inggris merupakan negara sepak bola jadi terasa bercanda karena bola jadi seperti anak durhaka. Inggris yang menemukan sepak bola, tapi sepak bola sendiri seolah enggan pulang ke pangkuan ibunya. Hal itulah yang membuat makin lama fans-fans Inggris gatal ingin melihat kesebelasannya menggenggam piala.

Tapi masalahnya, Inggris memang selalu angin-anginan setiap lepas dari kualifikasi.

Misalnya setelah gilang gemilang di kualifikasi, ternyata Inggris jadi tim yang paling jeblok di UEFA Nation League dengan hanya bisa bikin empat gol plus kebobolan 10 gol. Bahkan salah satunya dicukur 0-4 oleh Hungaria. Inggris pun harus rela terdegradasi ke League B, satu kasta dengan Georgia, Kazakhstan, Finlandia, Montenegro, atau Slovenia.

Ada apa dengan Inggris? Ke mana keperkasaan babak kualifikasi? Kalau Inggris tidak berbenah, mereka jelas akan mengulang cerita lama: Berantakan di turnamen besar.

Kritik demi kritik pun mulai menghampiri Gareth Southgate. Semua didorong oleh kecemasan FA dan tentu saja para pendukung mereka. Apalagi Southgate tampak mulai ragu pada formasinya sendiri, dia terus menerus berganti antara memakai formasi tiga pemain belakang atau empat pemain belakang. Bahkan dalam penentuan tim yang dibawa ke Qatar sekalipun, banyak orang mempertanyakan keputusannya tidak menyertakan nama-nama yang justru sedang bersinar seperti Fikayo Tomori, Jadon Sancho, Tammy Abraham, atau Dean Henderson.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline