Tak bisa disangkal, tahun 2018 ini adalah tahun politik. Berbagai daerah mulai mempersiapkan diri untuk memilih putra putri terbaiknya menduduki kursi pemerintahan, entah itu di lembaga perwakilan rakyat, atau di singgasana kepemimpinan. Ragam dinamika politik tahun ini juga tentu akan memberi warna dan membawa riak gelombang menuju pusatnya: pemilihan presiden 2019.
Pesta demokrasi di negeri ini tidak pernah sepi. Selalu ada saja hal yang dikerjakan. Ragam hal didiskusikan, bahkan pada titik terburuk sampai memisahkan. Sekat antarsaudara terbentuk. Argumen argumen panas tak jarang dilontarkan. Mirisnya, ada yang sampai memutus persahabatan karena perbedaan pilihan.
Tahun ini, perhelatan demokrasi kedatangan tamu. Mereka ini yang disebut pupuk bawang, newbie, pendatang baru. Ya, tak lain dan tak bukan adalah para pemilih muda. Muda-mudi yang baru saja menginjak usia 17 tahun keatas - yang pada perhelatan politik lalu belum bisa terlibat - mulai ikut andil dalam menentukan pemimpin baru mereka. Tentu sebagai anak muda mereka dipenuhi dengan semangat membara, energi melimpah dan rasa haus akan pengalaman. Tetapi hal ini yang patut diwaspadai dan disadari dalam diri mereka. Jangan sampai stok energi yang ekses ini disalahgunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk menyetir dan memecah belah keguyuban di antara mereka demi merebut kursi kekuasaan.
Para pemilih muda yang masih naif akan lebih mudah diajak untuk bergabung menjadi simpatisan atau anggota partai politik. Rasa ingin tahu yang tinggi, haus akan pengetahuan dan pengalaman berorganisasi, dan segudang motivasi lainnya akan mendasari alasan mereka. Tentu hal ini sangat baik. Berperan di dalam politik aktif sedari muda juga merupakan hal yang penting karena generasi-generasi muda inilah yang akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Tetapi yang perlu diwaspadai adalah adanya tendensi fanatisme buta yang merusak. Fanatisme buta ini bisa saja terjadi karena 'brainwash' sesama anggota, atau karena pribadi si pemuda yang menganggap pandangan/pilihannya sebagai yang paling sempurna. Dari sinilah perpecahan bermula.
Kecenderungan menentukan pilihan yang fanatik tak hanya dapat terjadi saat menjadi anggota parpol. Melihat fenomena pemilu beberapa saat yang lalu, ada yang memilih karena parasnya, karena kegagahannya, dan karena-karena yang lain. Kemudian menjadi fanatik, menganggap pilihannya paling benar dan menganggap rendah kandidat yang lain.
Sebagai pemilih muda, apalagi yang cerdas dan terpelajar, sungguh tidak elok apabila membuat pilihan hanya karena alasan yang sepele. Sebagai pemuda harus kritis dan aktif. Bukankah itu semangat jiwa muda? Rasa ingin tahu yang tinggi, haus akan pengetahuan dan pengalaman akan hal-hal baru?
Sebelum menentukan pilihan, ada baiknya untuk mempelajari dulu biodata calon, sepak terjangnya, pendidikan dan prestasinya, serta pengalaman-pengalaman terdahulunya. Akan lebih baik jika mencari tahu kasus-kasus terdahulunya (tidak selalu buruk), dan menilai apakah sosok yang bersangkutan layak menjadi pemimpin/wakil daerah kita.
Dengan demikian, pilihan yang dibuat tidak atas alasan yang dangkal, tetapi diperkuat oleh fakta-fakta yang mendalam. Sehingga apabila kita terlibat dalam pembicaraan atau debat politik, kita bisa memberikan argumentasi-argumentasi yang kuat, yang disokong oleh fakta-fakta tadi. Bukankan dengan begitu, kita akan terlihat lebih pandai juga? Terlihat lebih cerdas karena memiliki data-data pendukung yang dapat dipercaya kredibilitasnya. Dengan diskusi menggunakan alasan-alasan yang logis dan berbobot, rasanya juga jarang sekali akan terjadi perpecahan dan PHK (pemutusan hubungan kekerabatan) akibat perbedaan pendapat. Pada akhirnya, pesta demokrasi akan menjadi pesta yang benar-benar meriah dan menggembirakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H