Nusantara -- beribu pulaunya, beraneka suku bangsa, tempat kita dibesarkan bunda. Setidaknya itulah penggalan lagu mars ABITA yang kini sering dinyanyikan anak-anak sekolah dasar (bahkan menengah), selain lagu Sayang atau Bojo Galak yang juga tak kalah ramai didendangkan akhir-akhir ini.
Terbentang dari lintang utara 6 sampai bujur timur 141, kita adalah apa yang selama ini digaungkan sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Ratusan ribu suku, bahasa, dialek, dan budaya, menjadikan diri kita seutuhnya sebagai bangsa Indonesia. Indonesia itu beragam, jelas kita tahu hal itu. Oktober 1928, ragam manusia dari penjuru negeri mengikrarkan diri menjadi satu tali kesatuan. Dan sejak saat itu pula pergerakan daerah-is melebur menjadi nasionalis.
Gejolak perlawanan dan tumpah darah tak terelakkan, hingga tahun 1945. Keberanian dua putera bangsa mengumumkan pada dunia bahwa Indonesia telah lepas dari belenggunya, disusul dengan ragam agresi sebagai bukti "tidak terima" sang empunya kuasa yang telah sirna, hingga akhirnya menjadi legowo dan menerima kenyataan bahwa kita memang sudah merdeka. Satu persatu episode ini membentuk dan merajut tali renda nusantara kita.
Pun rajutan itu tak berhenti disana. Ia terus berputar. Mengulir, memilin, dan merenda. Juragannya boleh ganti, yang merenda pun tak hanya seorang diri, tapi hasil karya (baca: hasil renda-an) itu tetap satu kesatuan. Apa yang telah terajut dan apa yang akan dirajut setelahnya, tak bisa lepas satu sama lain. Mereka terikat oleh benang-benang peristiwa dan memori yang menarik fragmen-fragmen kapas itu. Mereka terikat oleh bahan yang mendasarinya.
Tujuh puluh tahun (atau bisa juga dihitung nyaris seratus sepuluh tahun, jika ditengok dari awal inisiasi rajutan) lebih rajutan itu telah berjalan. Bayangkan, betapa besar kain yang telah dihasilkan? Betapa indah hasil karya yang telah dikerjakan? Rajutan itu toh tak berhenti disini, ia masih terus berproses. Tapi sebagai seorang perajut -- dan bahan yang dirajut -- rasa bosan tentu bisa datang melanda kapan saja.
Beberapa improvisasi, atau mungkin sedikit perbuatan nyeleneh, bisa jadi pembunuh bosan bagi sang perajut, sambil mengumpulkan ide atau gagasan akan diolah seperti apa rajutan itu kelak. Mengurai rajutan, mengacaukannya sedikit (atau bahkan memuntir mundur dan menjerat beberapa urai), hingga akhirnya menemukan kembali semangat merajutnya. Kebosanan ini bisa berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Ada kala dimana rajutan itu akan menjadi ruwet, dan butuh beberapa waktu untuk mengurai kembali agar bisa dirajut lagi.
Tapi percayalah, ruwetnya rajutan yang sudah terjalin ini bukanlah akhir dari segalanya. Memang terlihat mbundet, tapi dengan ketelatenan dan keseriusan, apa yang terlihat cukup sulit dibereskan ini tetap akan berjalan, dan rajutan yang telah dikerjakan, akan diteruskan dan dituntaskan menjadi hasil karya yang indah.
Kita dan setiap persitiwa yang terjadi didalamnya, adalah bagian dari rajutan itu. Ragam konflik yang terjadi, kasus kasus zaman now dan 'kegilaan' muda mudi saat ini, gabungkan semuanya jadi satu. Siapakah perajutnya? Tanyalah dalam hati. Nuranilah yang akan menjawabnya.
-----
Artikel ini adalah sebuah tugas artikel pendidikan kewarganegaraan SMA Kolese Loyola. Dibuat untuk mengkritisi dan mencari makna dibalik fenomena yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H