Lihat ke Halaman Asli

Hendra

Clear thinking equals clear writing

Tiga Kebiasaan Hidup yang Memiskinkan

Diperbarui: 16 Juli 2015   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Orang bilang manusia adalah makhluk kebiasaan. Hampir segala sesuatu yang terlihat seperti ‘mendadak’ kaya atau jatuh miskin hampir pasti bermuara dari proses panjang yang dilakukan sehari-hari. Hobi makan gorengan setiap hari?  Siap-siap saja menuai penyakit obesitas di masa depan. Suka mengigit kuku kalau sedang galau? Jangan heran kena penyakit cacingan.

Banyak jalan menuju kemakmuran namun jalan menuju kemiskinan mirip-mirip. Kebiasaan, cara berpikir, lingkungan semua masih berada dalam kontrol kita. Sangat tragis bila seseorang jatuh miskin karena faktor yang bisa dikontrol.

Kebanyakan orang yang jatuh miskin mengalami kasus klasik dimana lebih besar pasak daripada tiang. Tapi apa pencetusnya? Kita mungkin hanya melihat asap tapi meraba-raba asal percikan api. Tulisan ini berbagi pengamatan pribadi orang-orang sekitar mengenai faktor-faktor harian yang kasat mata dan memiskinkan pengidapnya.

 

Membanding-bandingkan gaya hidup

Seorang teman pernah tanya apakah lebih baik beli HP model terbaru atau motor. Dia mengaku lebih butuh motor agar pergi ke kampus lebih cepat tapi disisi lain merasa minder dengan HP jadulnya. “Mana ada yang mau gaul ama gue di kampus” katanya. Teman saya yang lain punya cerita serupa. Rekan kerjanya lebih memilih memiliki dua mobil mewah BMW daripada untuk DP rumah. “Tidur saja dimobil” jawabnya bercanda ketika ditanya apa yang akan keluarganya lakukan kalau kena PHK.

Mentalitas yang melihat materi tolak ukur satu-satunya hidup berkualitas hanya mengguntungkan produsen. Semakin konsumen melihat barang yang mereka jual sebagai bagian gaya hidup ‘ideal’, semakin lebar senyum mereka. Motivasi utama mereka adalah profit; mesin marketing mereka adalah iklan; dan market impian mereka adalah orang-orang yang latah – hobi adu gengsi - kalau perlu mengorbankan prioritas hidup lainnya demi membeli produk yang mereka tawarkan.

Semakin mahal dan banyak materi yang dikonsumsi, semakin tinggi kualitas hidup seseorang adalah mitos terbesar gaya hidup modern. Materi tidak lebih dari instrumen untuk mempermudah kita melakukan karya hidup. Lebih keren adu prestasi kerja riil atau karya hidup yang membawa manfaat bagi banyak orang daripada menaikkan ego yang fana.

 

Memiliki kebiasaan adiktif

Memiliki kebiasaan merokok bisa diibaratkan membakar uang dan paru-paru sedikit demi sedikit. Kalau diasumsikan perokok menghabiskan Rp10,000 per hari, maka dalam satu tahun dia telah ‘membakar’ Rp3,650,000 per tahun. Biasa seseorang menjadi perokok sejak usia remaja lantaran biar kelihatan keren (terima kasih iklan rokok!), jadi anggaplah dari usia remaja 17 tahun hingga usia dewasa muda 30 tahun, perokok telah menghabiskan Rp 47,450,000 (13 x Rp3,650,000) - uang yang bisa dipakai untuk biaya pernikahan, modal usaha, naik haji, DP rumah, beli motor, tabungan darurat dan lain-lain. Itupun belum memperhitungkan biaya berobat akibat merokok, efek samping bagi perokok pasif dan stress dalam keluarga yang kedapatan anggotanya kena kanker paru-paru, kanker lidah, stroke dan penyakit mematikan lainnya yang berhubungan dengan rokok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline