Lihat ke Halaman Asli

Hendra

Clear thinking equals clear writing

Fanatik Sempit Vs Fanatik Sehat Beragama

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Meskipun pilihan agama seseorang sifatnya sangat pribadi tetap saja ada pihak yang memaksakan kepercayaannya pada orang lain. Kekerasan atas nama agama, meraih kekuasaan dengan topeng agama sudah berlangsung sejak jaman bahula.

Ada dua metafora menarik untuk merespon mereka yang menganut paham fanatik sempit:

Pertama, agama itu seperti (maaf) alat kelamin. Urusan seputar alat kelamin terbatas diri sendiri dan pasangan yang sah. Apa yang pasutri lakukan dalam kamar bukan urusan kita dan bukan untuk konsumsi publik.

Baca: hubungan kita dengan Tuhan sifatnya sakral nan intim. Setiap suami tentu merasa istrinya yang paling cantik, tapi bukan berarti wanita lain tidak ada yang cantik. Setiap orang tentu merasa agamanya yang paling benar tapi ingat pemeluk agama lainpun merasa agamanya yang paling benar. Seperti bunyi pepatah: “beauty is in the eyes of beholder” – Cantik tidaknya seseorang tergantung siapa yang melihat.

Kedua, agama sebagai minuman alkohol. Menikmati minuman alkohol dalam dosis sedikit secara bertanggung jawab dapat menghangatkan badan. Konsumsi dalam jumlah besar dapat menyebabkan mabuk. Orang yang sedang mabuk kesadaran dirinya rendah dan rentan melakukan tindak kekerasan.

Baca: kuatkan diri lewat ajaran agama ketika sedang terpuruk tapi jangan sampai kebablasan mabuk merasa seolah-olah mendapat otoritas dari Tuhan untuk menghakimi orang lain, merasa paling suci sendiri.

Ini hanya tulisan iseng dalam menggali seperti apa kira-kira menjalani kehidupan beragama yang sehat. Yang beragama tentu ingin mendapat validasi atas ‘kebenaran’ agama yang dipeluk. Namun terkadang fakta di lapangan seakan-akan berkonspirasi mengguncang setiap ‘kebenaran’ yang dipeluk.

Mereka yang tidak dapat merekonsiliasi fakta dengan kepercayaannya menjadi defensif, berlindung dibalik tembok tinggi sambil menutup kuping dan mata rapat-rapat. Sebagian lainnya mengambil sikap agresif, memutar balik fakta agar cocok dengan kepercayaan yang dianut bahkan kalau perlu dengan kekerasan.

Berikut perbedaan fanatik sempit dan sehat dalam menyikapi fakta dalam hidup.

Pemeluk yang Berbeda Keyakinan

Sempit:

Melihat mereka sebagai musuh atau kaum tersesat yang perlu dibawa kembali ke jalan benar. Mereka merasa paling mulia dan mendapat wangsit dari Tuhan untuk menghakimi mereka yang berbeda keyakinan. Gemar memperuncing suasana dengan slogan bernafaskan  “Kita Vs Mereka”. Tidak ketinggalan pula memberi label merendahkan kepada mereka yang tidak percaya dengan agama yang dianut.

Kaum ini juga merasa sakit hati luar biasa bila ada umatnya yang memutuskan pindah agama. Sedangkan kalau ada umat agama lain yang masuk agamanya, mereka akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk menjelek-jelekan agama yang ditinggalkan.

Sehat:

Semua manusia adalah ciptaan Tuhan dan masing-masing mencari Tuhan dengan jalannya masing-masing. Mereka bersyukur dengan adanya berbagai macam agama di dunia karena setiap agama merupakan rumah bagi jiwa-jiwa yang berbeda.

Bila ada kaumnya yang kemudian beralih ke agama lain, mereka turut senang karena jiwanya sudah menemukan rumah baru yang lebih cocok. Sedangkan kalau ada umat dari agama lain yang memutuskan masuk ke agamanya, mereka menyarankan untuk tidak usah terburu-buru, bertanyalah sebanyak mungkin dan putuskan dengan hati dan pikiran jernih. Setelah memeluk agama barunya, mereka akan meminta untuk tetap menghormati agama lamanya.

Sains dan Teknologi

Sempit:

Bukti dan penemuan dari sains mengenai hakikat alam semesta yang tidak cocok dengan versi kitab sucinya merupakan ancaman bagi validasi kebenaran agamanya. Mereka beragumen bahwa otak manusia sangat terbatas dibandingkan kebesaran Tuhan sehingga kebenaran versi kitab suci melampaui sains. Mereka hanya siap melihat dan ingin mendengar bukti-bukti sains yang dinilai mendukung kitab sucinya.

Dalam kasus ekstrim, mereka menolak menggunakan teknologi (“kalau Tuhan ingin manusia bisa terbang pasti kita sudah dikasih sayap”) atau medikasi yang dinilai bertentangan dengan ajaran agamanya. Pendapat pemuka agama mengenai sains dinilai lebih berbobot dibanding ilmuwan yang menggeluti bidangnya.

Sehat:

Melihat sains sebagai metode manusia dalam menguak misteri ilahi alam semesta. Terus melakukan penelitian, melakukan trobosan demi kesejahteraan umat manusia, menjaga sikap skeptis profesional dan memuaskan rasa penasaran merupakan manifestasi manusia dalam memenuhi undangan Tuhan untuk lebih jauh mengenal ciptaannya.

Sains bersifat netral, tidak main favorit. Hukum gravitasi tetap berlaku terlepas apakah kita percaya atau tidak.  Bumi tetap berputar mengelilingi matahari meskipun kita ngotot percaya matahari yang mengelilingi bumi.

Mereka tahu Tuhan memberi manusia akal sehat karena ada alasannya. Alih-alih mematikannya atas dasar (interpertasi sempit) iman, mereka menggunakan akal sehat untuk menjelaskan, mempelajari fenomena alam dan memanfaatkannya.

Mereka memiliki kerendahan hati bahwa dalam jagad raya manusia itu tidak ada apa-apanya karena itu sangat penting untuk terus belajar dan berpikiran terbuka. Tidak menggunakan akal sehat sama saja dengan menyia-nyiakan anugerah Tuhan.

Mereka sadar teks kitab suci tidak pernah lepas dari konteks sejarah penulisannya karena itu harus diinterpertasi dengan sangat hati-hati. Bukti-bukti baru ilimiah dikritisi dengan semangat menguji kebenaran bukan demi mempertahankan doktrin keagamaan. Prinsipnya, selama kemajuan sains dan teknologi berguna untuk umat manusia, kenapa tidak?

Otoritas Pemuka dan Lembaga Agama

Sempit:

Tidak bisa membedakan antara pendapat pemuka agama dengan ajaran agama. Pandangan pemuka/lembaga agama adalah suara Tuhan. Bila tokoh/lembaga keagamaannya terbukti korupsi, melakukan pelecehan seksual, berkomentar menjurus SARA, mereka merasa wajib membela habis-habisan. Ditelinga mereka, mengkritik mereka berarti menyerang agama. Prinsip mereka: “right or wrong it’s my religion”.

Otoritas moral dilihat dari jabatan individu dalam lembaga keagamaan. Semakin agamis pakaian yang dikenakan, semakin fasih membalut kata-kata dengan ayat kitab suci, semakin yakin bahwa individu yang bersangkutan pasti berakhlak mulia.

Sehat:

Pemuka agama bukan Tuhan. Lembaga agama hanya berisi manusia tidak sempurna yang berusaha menginterpertasi isi kitab suci untuk kebutuhan umatnya dan tidak luput dari godaan untuk memperkaya diri atau memperoleh kekuasaan dengan topeng agama. Bersikap “who the hell is he/she telling me this is right or wrong”.

Mereka melihat pemuka agama tidak lebih sebagai fasilitator dan sangat alergi dengan budaya pengkultusan individu (cult culture) sebagai otoritas moral. Ibarat makan direstoran, gambar dalam menu makanan boleh kelihatan kinclong memikat tapi buat apa kalau setelah makan rasanya mau muntah. Buat mereka “It’s the deeds that count not words”.

***

Sekian tulisan iseng seputar fanatisme beragama. Sempit atau sehat semuanya kembali ke pribadi masing-masing. Kita semua ingin hidup damai dan saya yakin pembaca semua menikmati kemajuan teknologi dan sains di berbagai sendi kehidupan. Juga saya yakin tidak ada orang yang senang dibodohi orang munafik berkedok agama demi kepentingan pribadi.

“The world is my country, all mankind are my brethren, and to do good is my religion” – Thomas Paine

Hendra Makgawinata

Sydney, 05/03/14




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline