Lihat ke Halaman Asli

Pandu Semesta

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bulir-bulir hujan belum mau berhenti. Terus menetes dan membasahi setiap jengkal bumi. Berkolaborasi dengan tanah menyuburkan tiap flora yang tumbuh di atasnya. Sebuah simbiosis yang sulit untuk dimengerti. Untuk apa hujan terus menyiram tanah dan menyuburkan tumbuhan? Sebagaimana matahari yang terus membantu proses fotositentis, agar setiap organisme tak bernyawa itu bisa hidup. Terus memberi tanpa berharap untuk kembali.

“Bagaimana anda menulis setiap kalimat ini? Padahal, sulit menulis dengan gaya seperti ini. Menggabungkan antara sains, sastra dan antropologi kemanusiaan. Anda bercerita, seolah kami dibawa duduk bersama anda. Untuk mendengarkan petuah orang-orang bijak melalui kisah…” seorang pemuda, kira berusia sekitar dua puluh tahunan bertanya.

“Mudah saja. Anda hanya perlu pengetahuan dan sedikit kepekaan serta imajinasi. Lalu tulislah segala hal. Jangan pernah berhenti. Suatu saat, dengan kreatifitas otak kanan anda akan tahu. Bahwa sebuah cerita telah berubah menjadi sebuah novel. Dan novel yang ada di tangan anda semua ini. Adalah masterpiece saya. Saya bangga telah sampai pada titik ini” tekanan suaranya naik turun. Menekankan pada kalimat yang dia anggap penting. Dan, kebanggaan atas dirinyalah yang selalu dia tekankan. Besarnya rasa kebanggaan itu telah mengalahkan riak hujan yang juga belum berhenti.

Namanya adalah Pandu Semesta. Tentu saja inibukan nama aslinya. Sebuah novelnya yang berjudul Riang Merapi, telah mengguncang dunia. Dia sadarsetelah cerpen-cerpennya sering mengisi rubrik budaya dan sastra di Koran Nasional, bahwa dia memiliki penggemar. Dan benar saja. Riang Merapi telah masuk nominasi novel yang akan mengalahkan tentralogi Laskar Pelangi dalam peraihan novel terlaris sepanjang masa.

“Anda harus sadar. Bahwa alam imajinasi manusia itu tidak ada batasnya. Bahkan, sebelum anda mengenal kata-kata. Mereka telah memainkan peran penting dalam proses kreatif kita sebagai anak.”

“tapi pak, apa kita perlu keahlian bahasa untuk meramu kreatifitas itu? Perlukah bakat khusus?” seorang gadis, nampaknya siswi SMP bertanya. Acara bedah buku ini benar-benar mampu menyedot antusiasme banyak kalangan.

“Ya… bahkan. Dalam proses pembuatan novel Riang Merapi, saya mengesampingkan masa lalu saya. Bahwa saya pernah belajar membaca. Belajar menulis. Saya betul-betul mengosongkan semuanya. Dan membiarkan imajinasi saya menuntun jari-jari saya menari di atas tuts keyboard. Anda tahu? Setiap ketukannya adalah simfoni yang membawa jiwa saya terus melayang menembus batas ruang dan waktu. Kita, sebetulnya tidak perlu bakat. Yang kita perlukan hanyalah membebaskan diri kita”

“selama hidup. Saya baru pertama kali datang ke Merapi. Menyaksikan kegagahan Wedus Gembel. Dan ternyata awan panas itu menghadiahkan kepada saya inspirasi. Bagaimana mungkin, kita bisa hadir dengan karya yang monumental, jika kita tidak berupaya membebaskan diri kita”

Ruang Auditorium yang penuh dengan ragam aroma itu hening dalam sejenak. Kalimat-kalimat Pandu memang harus dicerna dengan akal sehat.

Seorang pemuda, dengan rambut klimis dan jenggot tipisnya lalu mengangkat tangannya. “tak ada satupun kalimat terima kasih di dalam buku ini. Kecuali sebuah persembahan kecil untuk anak dan istrimu.”

“saya mempersembahkan buku ini memang untuk mereka. Khususnya anak saya, Riang namanya. Dia lahir persis saat merapi sedang memuntahkan isi perutnya. Saya tinggalkan istri saya yang baru saja melahirkan, untuk berangkat ke Jogja menjadi relawan. Tapi, mereka benar-benar membuat saya bangga sebagai seorang suami dan ayah. Dan Riang Merapi diambil dari nama putera sulung saya.”

Sepeti biasa. Setiap acara bedah buku yang dibedah langsung oleh penulisnya. Ada sesi tanda tangan. Pemuda klimis berjenggot tipis tadi menghampiri.

“maaf, saya ingin minta tolong. Buku ini akan saya hadiahkan kepada beberapa orang. Termasuk orang tua dan guru-guru saya. Jadi, saya minta anda menuliskan beberapa kalimat sakti anda untuk mereka. Anggap saja, saya mengirim kepada mereka ucapan terima kasih. Atas semua yang telah mereka berikan kepada saya”

Dalam sekejap awan komulus berhenti menangis. Hujan reda, berganti dengan sinar matahari sore yang teduh. Tentu saja, kehadiran sang surya ditemani 7 bidadari warna bernama pelangi. Tapi, biar bagaimanapun. Tuhan telah memberikan plot yang benar. Agar manusia tidak hanya bisa bergembira, bangga dan angkuh. Tapi juga haru, rendah hati dan merasa diri belum ada apa-apanya. Hari ini benar-benar begitu terasa lebih berharga dari sebelumnya. Pandu kemudian berdiri dan memeluk pemuda tadi.

“terima kasih…! Duhai cinta, kau telah menyadarkanku… maaf”

Pandu Semesta, selama sepuluh tahun berkarya baru saja ingat. Bahwa, dia harus bersujud syukur kepada Tuhan atas karunia kesehatan, hingga dia bisa menulis. Bahwa dia harus datang kepada orang tuanya, karna telah berhasil membesarkan dan membawa dia pada titik ini. Bahwa, Pandu Semesta. Setidaknya menuliskan ungkapan terima kasih kepada guru-gurunya. Yang mengajarkan dirinya mengenal aksara. Mengajarkan cara mengeja dan membaca. Bahkan, mengajarkan cara berbicara.

Dalam tangisnya. Pandu berlari mendaratkan keresahannya. Karna selama ini dia khilaf. “Oh, betullah kata Noe. Sebelum cahaya ada banyak orang yang menemani kita.” Ditatapinya pelangi. Walaupun merahnya tak semerah dulu. Dan kita harus tahu, semesta punya cara kerja sendiri untuk menyadarkan penghuninya.

Ingatlah engkau kepada

Embun pagi bersahaja

Yang menemanimu

Sebelum cahaya…

(Sebelum Cahaya, Letto)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline