Lihat ke Halaman Asli

Hendra Lim

Dosen, Trainer, dan Penyunting

Menghadapi Kebencian, Mengatasi Ketakutan

Diperbarui: 27 Agustus 2022   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seorang sahabat bertanya melalui pesan singkat tentang cara menghadapi kebencian dari orang lain dan mengatasi rasa takut akan tidak ada orang yang mau mendekati. Singkat, sederhana, sekaligus menarik. Ini bukan pertanyaan mudah. Mohon maaf teman, jawabannya membutuhkan sekian purnama. Semoga tulisan ini mampu menjadi tanggapan yang pas.

Idealnya, dunia mendukung kita. Setiap ucapan dan perbuatan kita selalu benar. Tidak ada kata 'salah' atau 'tercela' dalam kamus orang yang berhubungan dengan kita. Mereka memuji dan memuja kita setinggi langit. Tidak ada seorang pun yang tidak menyukai kita.

Bangun! Sadar! Itu hanya ada di dunia mimpi. Di dunia nyata, yang ada adalah para penjilat yang siap dan sigap menyenangkan Anda di saat Anda masih punya 'harga'. Saat harga Anda hilang, mereka pun lenyap ditelan bumi. Bahkan, tidak jarang yang malah menjadi pengkhianat di barisan terdepan untuk sebuah 'harga' baru.

Memiliki sedikit musuh terlihat sepertinya lebih baik dibandingkan memiliki pengkhianat yang tersembunyi. Musuh ini menjadi berharga tatkala mereka menunjukkan ketidaksukaannya. Meminjam teori Jendela Johari, mereka menunjukkan sisi yang mereka ketahui tetapi kita tidak ketahui. Jadi, tahap pertama menghadapi kebencian orang lain adalah menerima fakta bahwa pasti ada seseorang yang tidak menyukai kita karena mereka menunjukkan sisi gelap yang kita sendiri tidak tahu.

Kedua, karena kita bukan alat pemuas, adalah tidak mungkin kita memuaskan setiap orang. Ingat, salah satu cara tercepat untuk tidak disukai setiap orang adalah berusaha untuk memuaskan setiap orang. Dalam kasus tertentu, teguh para prinsip dan nilai akan menjauhkan Anda dari orang dengan prinsip dan nilai berbeda. Ini malah bagus. Anda hanya akan bertahan sebentar dengan orang yang cara pandangnya tidak sama. Perbedaan ini lambat laun akan semakin melebar dan makin tajam sehingga memicu perdebatan, bahkan pertengkaran. Tetap menjadi diri sendiri dengan risiko tidak disukai orang lebih baik daripada menjadi bunglon yang tidak jelas warnanya. Anda bebas berjalan dengan wajah sendiri untuk bertemu dengan orang lain yang punya wajah yang sama.

Ketiga, kecuali Anda pernah melakukan sebuah perbuatan yang sangat buruk hingga menyebabkan kebencian seseorang kepada Anda tidak pernah padam, Anda bebas dari tanggungjawab agar seseorang tidak membenci Anda. Setiap orang bebas memutuskan untuk menyukai atau membenci Anda. Kekuatannya di tangan mereka, bukan Anda. Setiap usaha Anda untuk menjadi baik tidak otomatis berbanding lurus dengan rasa suka mereka kepada Anda. Di sinilah bersikap bodoh amat menjadi tepat. Anda tidak peduli orang akan suka atau benci. Anda hanya peduli dan yakin bahwa perbuatan Anda baik. Bagaimana orang lain akan menilai, menanggapi, dan menerimanya, itu urusan mereka, bukan Anda. 


Manusia tanpa topeng menampilkan wajahnya yang asli, di depan maupun di belakang. Bersikap apa adanya, terbuka, dan tak takut dicela karena memegang prinsip dan nilai, dia berani untuk tidak tenar. Dia sadar kejujuran adalah modal kuat yang menarik banyak orang untuk dekat dengan dia. Mau bergaul atau sekadar kenal, silahkan. Tidak juga tidak apa-apa. Dia tidak lelah menutup wajahnya untuk sekadar didekati dan disukai orang banyak. Dia juga berani untuk menghadapi risiko menjadi tak tenar.

Disukai, didekati, dan disayang orang lain adalah keinginan yang wajar. Sayangnya, dunia tidak hanya berisi orang-orang yang baik kepada kita. Ada yang kecewa, jengkel, marah, bahkan hingga membenci kita. Itu hak mereka. Anda tidak punya kendali. Anda hanya mampu untuk menjadi diri Anda yang terbaik. Apa pun tanggapan mereka terhadap Anda, diam saja. Selama anda lurus dan tulus, hidup Anda akan baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline