Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Prostitusi Pelajar Autokritik Kurikulum Pendidikan

Diperbarui: 4 Februari 2025   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pelecehan seksual (sumber: megapolitan.kompas.com)

Prostitusi di kalangan pelajar, secara realitas telah menjadi rahasia umum yang makin mengkhawatirkan. Pemakluman, pembiaran, bahkan "sikap" memfasilitasi, sudah menjadi hal lumrah yang nyaris membunuh rasionalitas kita. Entah dari sikap acuh orangtua, keluarga, bahkan lingkungan pendidikan yang harusnya dapat menjadi "benteng" moral.

Bahkan, pada bulan lalu terkonfirmasi prostitusi pelajar hingga melibatkan anak usia SD (KPA Grobogan). Bahkan di Gondanglegi, Kab. Malang, ruang prostitusi tidak lagi melalui media online, melainkan dari usaha warung kopi. Alhasil, 7 anak dibawah umur diamankan petugas, dimana rata-rata masih berstatus sebagai pelajar (1/25).

Dua hal tersebut kiranya menjadi contoh yang aktual. Seperti halnya kasus di Gang Royal, Rawa Bebek, Jakarta. Prostitusi kini tak lagi menjadi hal tabu. Bahkan terfasilitasi melalui berbagai aplikasi online maupun offline, ditengah lingkungan masyarakat.

Fenomena Sosial atau Problem Pendidikan?

Keterlibatan kalangan pelajar dalam dunia prostitusi, tentu menjadi hal yang memprihatinkan. Ruang sosial yang seharusnya menjadi sarana komunikatif antar warga, kerap terjebak dalam aturan hukum dan persoalan "centeng". Dimana memilih untuk tidak terlibat, justru dianggap normal untuk menghindari masalah.

Demikian kiranya kurikulum pendidikan yang tidak lagi memberi edukasi perihal norma dan etika dalam pembelajaran. Sudah tentu hal ini menjadi latar belakang persoalan "krama" bagi para pelajar. Aspek perilaku kerap berbenturan dengan disiplin yang seharusnya menjadi identitas seorang pelajar. Disiplin, saat ini justru dianggap sebagai aturan yang mengekang kebebasan pembelajaran.

Benturan pemahaman ini tak lain karena faktor digitalisasi pendidikan, termasuk kurikulum yang kurang edukatif. Ramai kiranya konten kreator yang justru berangkat dari ruang pendidikan, pun memberi dampak bagi beragam. Perihal perspektif tentang dunia pendidikan saat ini. Fenomena digitalisasi pendidikan pun sebaiknya ditelaah ulang sebagai upaya pembatasan dan kontrol media.

Keluarga Sebagai Solusinya

Jika lingkungan adalah penyebab utama persoalan moralitas, maka keluarga adalah kunci solutifnya. Peduli terhadap pergaulan anak, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua, dan keluarga. Bukan semata-mata memberi kebebasan bagi anak-anak dalam pergaulan tanpa adanya kontrol. Namun, harus menjadi "benteng" dalam menjaga etika dan norma diluar lingkungan keluarga.

Keluarga seharusnya dapat menjadi rumah yang nyaman bagi anak-anak, dari maraknya pergaulan bebas. Memberi batasan mengenai waktu keluar rumah, tentu menjadi hal penting kini. Terlebih dalam mengetahui dimana dan dengan siapa anak-anak bergaul saat diluar lingkungan keluarga. Termasuk ketika usai beraktivitas dari lingkungan lembaga pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline