Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Demokrasi Followers

Diperbarui: 15 Juli 2024   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi followers media digital (sumber: shutterstock via kompas.com)

Faktanya memang partai politik kini lebih memilih public figure (tokoh) yang populer dari pada kader ideologisnya. Pernyataan yang kiranya tengah memberi kesan negatif dalam ruang demokratisasi. Tak lain karena sulitnya bersaing secara natural tanpa ada unsur pemain "cabutan" alias non partai. Khususnya kala gelar demokrasi hendak dilakukan di berbagai level.

Catatan penting dari Pemilu sebelumnya menyoal popularitas para tokoh memang menjadi daya tarik utama. Termasuk keterlibatan dari para selebriti dengan berjuta followers-nya. Inilah realitas demokrasi yang dapat dinilai melalui daya dukung komunitas maya. Tanpa mampu tersentuh secara ideologis, lantaran sifatnya yang apolitis.

Apalagi perihal konten yang secara dominan sekedar menampilkan simbolisme dari pada sosialisasi ideologisasi politik. Sialnya, para followers pun sekedar "menelan bulat-bulat" tanpa ada upaya literatif kritis dengan bersikap latah dan ikut-ikutan. Suatu sikap yang pernah disinggung oleh Koenjtaraningrat (1990), menyoal perilaku negatif dari masyarakat Indonesia.

Termasuk dalam sikap meremehkan hal yang esensial dari pada kepentingan umum. Hal ini menegaskan bahwa ideologi bukan lagi dianggap sebagai landasan gerak, melainkan sebatas simbolisasi identitas. Dalam ruang digital, tentu hanya konten menarik dan unik yang kerap mendapatkan perhatian lebih. Dari pada suatu konten yang bersifat ideologis maupun akademis.

Uniknya, publik pun seakan memiliki pola serupa, seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Mochtar Lubis, perihal hipokritisme. Sekedar memberi kesan positif dengan mode "taqlid", tanpa ragu publik memberi "dukungan" tanpa pikir panjang. Sedekar tenar, dan kerap didengar, pilihan politik seakan telah sampai pada bilik-bilik suara.

Inilah realita politik kontemporer yang jauh dari idealismenya. Maka wajar, jika partai politik lebih berkenan mengusung public figure ataupun artis "ngetop" yang punya followers nyata. Dalam hal ini, metode apapun tentu tidak dapat dijadikan orientasi ideologis, jika telah bersentuhan dengan dunia maya.

Para pelaku politik bukan lagi mereka yang lahir secara ideologis dari proses kaderisasi panjang sebuah partai. Seperti yang dijelaskan oleh V. Wahyudi (2018), perihal politik digital di era revolusi industri 4.0. Dimana saat ini proyeksinya justru telah melampaui hal itu. Pelaku politik telah bertransformasi dari ideologis menjadi popularitas ekonomis.

Sehingga wajar, jika pola-pola kaderisasi partai banyak yang mulai meragukan keabsahannya. Lantaran perihal "pemain cabutan" kerap muncul sebagai alternatif yang disajikan. Maka, wajar jika ketercapaian yang menjadi harapan publik justru menyimpang dari janji-janji politik kala kampanye berlangsung.

Apalagi dengan narasi apologetik yang tidak mencerminkan perilaku politik paripurna. Suatu ralitas yang kerap kita temui ketika visi dan misi tidak dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, uniknya, perilaku demikian seakan menjadi kebiasaan yang tak kunjung usai.

Melihat fenomena ini, tentunya adalah kesadaran politik masyarakat yang justru menjadi penting. Pemahaman perihal visi dan misi yang realistik dalam proyeksi ketercapaian, ataupun figur yang ideologis. Sejarah mencatat, bahwa popularitas tanpa ideologi maka akan menghasilkan persoalan kebijakan publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline