Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Jerat Pinjaman Online di Kalangan Pelajar

Diperbarui: 25 Juni 2024   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi jerat pinjaman online (sumber: shutterstock via kompas.com)

Pinjaman online (pinjol) kini bukan lagi menyasar pada kalangan dewasa. Kalangan remaja pun secara faktual dapat terjerat dengan berbagai alasan yang lebih individualistik. Selain dari faktor pribadi yang lebih berkaitan dengan perilaku sosial dan gaya hidup.

Bermodal Kartu Tanda Penduduk (KTP), para pelajar dengan mudahnya dapat terperdaya untuk mendapatkan "cuan" secara instan. Namun, hal ini memiliki dampak yang justru merugikan secara psikologis. Seperti pada beberapa kasualistik yang akan diungkap.

Walaupun pemerintah telah merilis pinjol legal dan ilegal, namun tetap saja pinjol dianggap merugikan masyarakat. Khususnya bagi kalangan pelajar yang memang memiliki masalah literasi secara baik. Seperti ketidakpahaman terkait bunga tinggi pada pinjaman.

Sekedar dirasa mudah dalam mencairkan dana, pinjol kini dianggap menjadi sarana utama menyelesaikan kebutuhan finansial. Khususnya kalangan pelajar, dengan jumlah sebesar Rp. 168,87 miliar per bulan Juni 2023, rilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Besaran tersebut dinilai dari kredit macet yang tidak dapat terselesaikan oleh debitur (pelajar/usia 19 tahun). Alasan umum yang didapat diantaranya adalah persoalan gaya hidup, selain dari masalah judi online yang juga marak diberbagai kalangan.

Masalah Gaya Hidup

Secara faktual, gaya hidup modern yang bersifat digitalistik, memberi peran penting dalam transformasi sosial. Pun terhadap para remaja/pelajar pasca pandemi Covid-19. Transisi modernisasi bukan sekedar area digital, melainkan pula perihal fashion/trend.

Widjojo Nitisastro (2009), menjelaskan perihal modernisasi sebagai transformasi teknologi yang dapat mempengaruhi perilaku sosial. Dengan orientasi ekonomis yang bersifat pragmatis dan hedonis, untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup.

Tak lain, karena faktor ruang kerja yang dirasa tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Selain faktor ekonomi keluarga, yang kerap dijadikan "alibi" untuk memenuhi kebutuhan belajar di era digital. Hal inilah yang dapat dijadikan catatan penting bagi ruang pendidikan.

Apalagi ruang media sosial kerap memberi realitas anti-sosial yang cenderung negatif. Tanpa adanya batasan yang berkaitan dengan norma dan moral dalam aspek edukasi. Termasuk peran serta orang tua yang cenderung toleran dengan realita modernisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline