Undecided voter, kiranya masih jadi ruang perebutan yang potensial dalam gelar pemilu 2024 mendatang. Tak lain karena jumlahnya yang signifikan, yakni sekitar 28,7 persen dari perhitungan beberapa lembaga survei.
Perspektif politik yang tampak tak lain beranjak dari ruang keberpihakan politis terhadap para konstituennya. Keberpihakan inilah yang jadi penentu undecided voter dalam menentukan sikap politiknya dalam pemilu.
Landasannya tak lain adalah ruang kebebasan dalam konteks demokratisasi selalu menjadi pijakan dalam menentukan pilihan. Ada hal penting dalam hal ini, dimana ruang keberpihakan politik dapat terasosiasi secara realistis tanpa ada gimmick politik.
Artinya, ketertarikan pada salah satu paslon tertentu, selain berangkat dari visi misi, realitas pada debat yang terjadi pada putaran pertama justru menjadi catatan pentingnya. Dimana opsi-opsi kepada paslon tertentu, mulai muncul usai debat berlangsung.
Seperti yang penulis lakukan melalui wawancara acak kepada 10 responden terkait pilihan pasca debat putaran pertama. Mereka (undecided voter) cenderung memiliki pandangan positif terhadap paslon yang memiliki wawasan rasional terkait kebangsaan.
Khususnya terhadap ide dan gagasan-gagasan yang tersampaikan secara cerdas, serta tidak menunjukkan ekspresi yang memantik persinggungan. Dimana uniknya, rata-rata para undecided voter ini berasal dari kalangan akademisi dan kaum marjinal.
Sebutlah Bang Jo*; "...kalau saya sih sekarang, lebih suka dengan gaya penyampaian yang taktis namun solutif...".
Selain itu ada Kak Ris*; "...simple aja, yang paling jelas punya proyeksi tentang masa depan Indonesia, boleh juga, tapi lihat nanti ya...".
Ada pula Kak Mal*; "...yang punya track record negatif di masa lalu, wah, skip dulu deh...".
Namun berbeda bagi Bang Ar*; "...kalo gue bakal tunggu debat selanjutnya (cawapres), baru ketahuan tuh gimana ntarnya...".