Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Kisah di Balik Slogan "From the River to The Sea, Palestine Will be Free"

Diperbarui: 17 November 2023   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Frasa "From the River to the Sea, Palestine will be Free" pada sebuah aksi (sumber: AP Photo via kompas.tv)

Kiranya kita pahami, bahwa gerakan pro Palestina semakin meluas dan bertambah masif di berbagai negara. Khususnya perihal krisis kemanusiaan yang telah merengut banyak korban jiwa di Palestina. Ini bukanlah sekedar politik, melainkan soal rasa kemanusiaan.

Banyaknya nyawa tak berdosa yang terdampak dari okupasi militer tentara Israel pun memberi pandangan faktual bagi bangkitnya humanisme internasional. Tanpa ada sekat agama, dan keyakinan yang dianut masing-masing aktivis pro kemerdekaan Palestina.

Hingga frasa "From the River to the Sea" dijadikan slogan perjuangan dan dukungan bagi rakyat Palestina. Masyarakat dunia kiranya memahami, apa makna dari kalimat tersebut. Terlebih usai bombaerdemen kamp pengungsian dan rumah sakit terjadi di Gaza.

Bukan sekedar kalimat protes, melainkan sebuah kalimat pernyataan yang mengandung harapan. Harapan bagi masa depan bangsa Palestina, dengan haknya sebagai negara merdeka. Dimana frasa tersebut kemudian diteruskan dengan kalimat "Palestine will be free".

Kita tentu dapat menilainya dari sudut pandang kemanusiaan. Bukan dari justifikasi rasialis ataupun legitimasi atas nama agama tertentu. Masyarakat dunia kiranya tengah menaruh perhatian atas krisis kemanusiaan di Palestina.

Kisah Dibalik "From the River to the Sea, Palestine will be Free"

Mandy Turner dalam "From the River to the Sea Palestine and Israel in the Shadow of Peace" (2019), menjelaskan bagaimana gerakan protes menentang Israel memicu berbagai tindak kekerasan. Baik yang terjadi di Gaza, Tepi Barat, ataupun Jerusalem Timur.

Dengan kecenderungan banyaknya terjadi pelanggaran HAM berat yang lebih mengarah kepada aksi genosida. Khususnya di Gaza, sebagai area konflik terbuka dengan pendekatan militeristik Israel. Terlebih pasca peristiwa Nakba di tahun 1948 silam meletus.

Termasuk kebijakan negara "donor" terhadap Israel untuk terus melakukan okupasinya terhadap wilayah Palestina. Catatan penting bagi Mandy Turner adalah, Israel tidak akan membiarkan Palestina berdiri sebagai negara yang berdaulat hingga kapanpun juga.

Sebuah anomali yang kontradiktif dalam sejarah kedatangan bangsa Yahudi di tanah Palestina. Toufic Haddad, salah satu kontributor Mandy Turner, dalam The Gaza Strip and The Political Economy of Crisis, menjelaskan secara rinci konsep anti-kemanusiaan di Gaza.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline