Pasca berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1991, yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, seketika membuat peta politik dunia berubah. Post Cold War atau dikenal dengan era Perdamaian Semu, masih memberi ruang konflik dengan pendekatan deradikalisasi.
Deradikalisasi yang mengemuka dengan stigmatisasi teroris atau "penjahat perang", justru mengemuka selama kurun waktu 1991 hingga 2011. Alih-alih demi perdamaian, justru konflik militeristik semakin menguat sejak Perang Teluk berakhir pada tahun 1991.
Kita dapat lihat, bagaimana munculnya negara-negara adikuasa baru pasca berakhirnya Uni Soviet. Seperti China, yang mulanya tidak diprediksi sebagai "ancaman" di kawasan Asia Tengah, Rusia di kawasan utara, dan Libya di kawasan Afrika.
Amerika sebagai satu-satunya negara adidaya pasca Uni Soviet runtuh seakan mendapatkan tantangan barunya. Termasuk Rusia, dengan proyeksi politik yang tetap diperhitungkan secara global, khususnya sejak Vladimir Putin menjabat sebagai Perdana Menteri.
Disini kita akan dapatkan pula, kehadiran Turki sebagai negara yang diperhitungkan secara politik di kawasan Timur Tengah. Bukan secara tiba-tiba tentunya, melainkan secara ideologis yang dianggap mewakili semangat Pan Islamisme.
Maka dapat diketahui skema politik global saat ini sebagai wujud dari perseteruan tiga ideologi besar di masa lampau. Tak lain adalah Neo-Kapitalisme yang direpresentasikan dengan Amerika, dan Neo-Sosialisme yang direpresentasikan dengan Rusia dan China.
Termasuk dengan peta politik di kawasan Amerika Latin, dengan paradoksnya masing-masing. Terkecuali dalam memandang konflik yang berkecamuk pasca Perang Dingin berakhir. Ada semacam kecenderungan untuk selalu mengupayakan perdamaian protektif.
Sebuah opsi yang mengemuka, kala kecamuk Perang Teluk meletus. Pun dengan maraknya aksi revolusi politik di beberapa negara Asia dan Afrika, seperti yang terjadi di Libya pada 2011 silam. Serta ketegangan di Semenanjung Korea dan Kosovo-Serbia hingga kini.
Selain dari konflik militer antara Rusia dan Ukraina, yang belum tuntas. Perseteruan antar ideologi dapat menjadi argumentasi utama dalam menilai realitas politik global. Termasuk fakta kegagalan PBB dalam meredam ketegangan antar negara belakangan ini.
Peta Politik Global Dalam Konflik Palestina-Israel