Di tahun ini, kebangkitan humanisme internasional diawali dengan terjadinya krisis kemanusiaan di Palestina. Tak lain karena okupasi militer Israel terhadap rakyat di tanah Palestina. Jutaan orang dari berbagai negara pun mengecam aksi sepihak Israel.
Tercatat kurang lebih 9.900 jiwa meninggal, dan ribuan lainnya terdampak akibat perang. Selain persoalan politik global, yang mulai menampakkan sikap saling berhadapan dalam bloknya masing-masing. Dunia kini tengah dihadapkan dengan krisis multidimensi.
Sebuah era dimana perdamaian dunia kembali diusik ketenangannya. Hal serupa seperti era pra Perang Dunia 1 dan 2. Khususnya kala Perang Dingin berkecamuk di dunia. Krisis internasional kini berulang, dengan sikap terbuka antar negara untuk saling berperang.
Jika Perang Dunia 3 terpantik atas persoalan ini, tentu akan sangat merugikan bagi semua pihak. Bagi bangsa-bangsa yang berdaulat atas hak perdamaian dan kemerdekaannya. Maka wajar, jika reaksi humanisme internasional kembali mengemuka.
Dalam hal ini tentu saja demi kedamaian di Palestina, dengan harapan dapat mengurangi jatuhnya korban jiwa dari berbagai pihak. Bukan semata-mata memberi dukungan moril, melainkan dukungan politis, sebagai bentuk sikap masyarakat dunia.
Sama halnya ketika Indonesia menghadapi Belanda yang hendak menguasai kembali wilayahnya. Gerakan humanisme internasional yang tampak, diwujudkan dalam bentuk aksi boikot internasional terhadap aksi polisionil Belanda.
Penarikan duta besar dari pemantik krisis kemanusiaan kiranya menjadi simbol politik yang tegas. Catatan dari berbagai sumber pun menjelaskan reaksi masyarakat internasional yang mengutuk aksi Israel mengokupasi wilayah Palestina.
Kesadaran hak atas bangsa yang merdeka, serta landasan hak asasi manusia, menjadi dasar gelombang aksi "semangka" di berbagai belahan dunia. Tak luput dengan Indonesia, yang secara politik dan sosial memberi dukungan penuh bagi bangsa Palestina.
Terhitung, ada sekitar 4.000 jiwa kanak-kanak yang meninggal selama konflik berlangsung hingga saat ini. Penduduk sipil, sarana, dan fasilitas kesehatan yang dilarang dijadikan target sesuai Konvensi Jenewa pun tak luput dari serangan.
Persoalan pelanggaran HAM, dan kemanusiaan inilah kiranya menjadi aspek utama yang harus diselesaikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang seharusnya mampu meredam konflik, pun seakan dibuat tidak berdaya.