Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Kala TNI Pecah Belah Karena Politik

Diperbarui: 5 Oktober 2023   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inspeksi Jenderal Soedirman terhadap pasukan TNI (sumber: kompas.com/Dok. kompas)

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) kiranya telah memberi abstraksi perihal politik tentara. Bahwa sebuah kesatuan bersenjata resmi Republik, pernah terjebak pada politisasi suatu kelompok tertentu. Dimana perihal politisasi pada tubuh TNI ini sebenarnya pun pernah ditentang oleh Jenderal Soedirman. Hingga beliau memilih untuk terlibat dalam kelompok oposisi bersama Tan Malaka.

Tepatnya kala Amir Syarifuddin, seorang tokoh kiri, membentuk kesatuan TNI-Masyarakat pada bulan Agustus 1947. Awalnya memang, pembentukan TNI-Masyarakat ditujukan untuk mewadahi para milisi yang menolak bergabung dengan TNI reguler. Namun, faktanya, kesatuan tersebut justru menampung para milisi yang berafiliasi dengan organisasi komunis kala itu.

Seperti Laskar Pesindo, Laskar Rakyat, Laskar Minyak, dll. Lain hal dengan TNI reguler yang tetap memilih untuk bersikap netral bagi kelompok tertentu. Kecenderungan pemerintah untuk lebih mengamodoir milisi kiri, sedianya telah menuai konflik sejak saat itu. Lagi-lagi karena posisi Amir Syarifuddin, yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Kepentingan kelompok kiri sudah tentu jadi prioritasnya. Apalagi kala mendebat kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Hatta, yang menghendaki para milisi untuk melebur menjadi satu kesatuan di tubuh TNI. Tentu dengan syarat yang tidak mudah dilewati, dengan konsekuensi eliminasi dan pelucutan senjata.

Inilah muasal pertentangan antara TNI reguler dengan TNI-Masyarakat, atau antara Amir Syarifuddin dengan Hatta. Latar belakang ideologisnya tentu saja perseteruan politik antara kelompok komunis berhadapan dengan kaum nasionalis. Soe Hok Gie menilai, bahwa sikap politik Amir Syarifuddin merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap TNI secara resmi.

Artinya bahwa, kelompok kiri menganggap dirinya sebagai satu-satunya milisi militan yang mampu menyelamatkan bangsa. Bukan semata-mata karena kepentingan umum, dengan konsepsi berdirinya sebuah negara. Tak lain adalah eksistensi tentara resmi, yang menjadi bagian dari simbol pertahanan sebuah negara.

Satu sisi, Jenderal Soedirman dan Bung Tomo pun berseberangan dengan orientasi politisasi tentara kelompok komunis. Walau pada akhirnya kedua tokoh tersebut lebih memproyeksikan eksistensi TNI pada berbagai front pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan. Pertentangan yang pada akhirnya memuncak kala peristiwa huru-hara di Surakarta pada September 1948.

Ir. Sakirman (kakak Jenderal S. Parman), yang merupakan pemimpin dari TNI-Masyarakat pun terlibat dalam berbagai serangkaian konflik antar pejuang Republik. Khususnya kala peristiwa Madiun meletus, dengan keterlibatan para milisi komunis yang berhadapan dengan pasukan Republik. Banyak diantara mereka yang berhasil ditumpas, pun dengan pasukan dari TNI-Masyarakat.

Jadi, pada prinsipnya memang, pembentukan TNI-Masyarakat hanya untuk menandingi TNI reguler yang dianggap diplomatis. Tidak melulu angkat senjata, dan lebih memilih untuk berunding dengan Belanda. Argumentasi tersebut memang mengemuka, sebagai dalih atas sikap memberontak milisi kiri yang identik dengan kaum revolusioner.

Padahal banyak diantara milisi kiri lainnya yang justru memihak pada strategi pemerintah, seperti Barisan Banteng. Dimana konsep perjuangan atas prinsip mempertahankan kemerdekaan lebih penting daripada urusan politik dan kepentingan kelompok. Selain kita pahami bahwa kelompok komunis kala itu pun tengah terbelah menjadi dua, yakni kelompok Musso dan Tan Malaka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline