Siapa sangka, ditengah iklim politik yang kian panas, ada gebrakan unik dari sebuah partai yang didominasi oleh kalangan muda. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang sebelumnya dipimpin oleh Giring Ganesha, kini dinahkodai oleh Kaesang Pangarep.
Tak luput dari anomali politik pasca bubarnya koalisi Perubahan, dan keputusan bergabungnya partai Demokrat bersama Gerindra. Kini, permainan politik anak-anak muda dari PSI kiranya memberi realitas politik yang progresif dan reaktif.
Progresif dalam sudut pandang yang konon tidak sesuai dengan mekanisme kepartaian. Lantaran tanpa ada proses kaderisasi yang baik, dan secara tiba-tiba, figur diluar kader PSI justru langsung menjabat sebagai ketum. Reaktif, dalam proses pragmatisnya.
Apalagi jika mengenal sosok Raja Juli Antoni, yang kiranya sangat paham pola perkaderan. Baik melalui mekanisme rekruitmen, dan proses kaderisasi, yang jadi simbol penting dalam sebuah organisasi. Khususnya jika seorang figur hendak didaulat sebagai ketum.
Maka, wajar jika kemudian keputusan PSI ini dianggap sebagai blunder politik. Dengan membuka potensi kekecewaan kader partai di tingkat bawah. Jenjang kaderisasi tidak lagi menjadi prioritas dalam kematangan proses politik di tubuh PSI.
Semua hanya fokus pada upaya mendongkrak suara, jelang gelaran pemilu 2024 mendatang. Dengan target, tentu saja kalangan anak muda. Sebagai representasi dari strategi politik PSI yang memiliki pendekatan uniknya.
Melepaskan identitas ideologis, tentu dapat membuat PSI dianggap sebagai partai simbolis. Jauh dari orientasi realisasi visi misi yang seharusnya menjadi ruang edukasi bagi para konstituen. Dalam hal ini tentu adalah proses demokrasi dalam tubuh PSI yang disoroti.
Walaupun secara resmi PSI telah menegaskan mekanisme organisasi internal dalam proses pemilihan sebagai ketum. Pun demikian, kala Giring Ganesha pada periode sebelumnya, naik menjadi ketum partai. Inilah yang membuat PSI berbeda dengan partai lain.
Padahal, kala kepemimpinan sebelumnya, jumlah perolehan suara PSI pun tidak masuk sampai ke parlemen. Dengan daya dukung sosial politiknya yang rendah. Kiranya PSI dapat mengambil pelajaran dari persoalan elektabilitas sebagai refleksinya.
Baik di tingkat pusat, atau bahkan di tingkat daerah, dengan kebijakan partai yang lebih realistis. Serta bukan sekedar memberi beban politik bagi para kadernya, untuk berjibaku mencari dukungan publik. Pada masa-masa kampanye politik partai.