Bermula pada tahun 1970-an, konsep pengembangan lahan plasma menjadi kebijakan pemerintah kala itu. Selain berorientasi untuk membangkitkan daya guna masyarakat lokal. Skema bagi hasil dianggap dapat menaikkan pendapatan ekonomi para pelakunya.
Tak lain adalah masyarakat sekitar perkebunan sawit milik negara ataupun milik swasta. Kebijakan lahan plasma memang berupaya meningkatkan kesejahteraan para petani. Dimana lahan garapnya bersumber dari perusahaan sawit dan dikelola secara mandiri.
Aturan plasma inilah yang menjadikanya sebagai kompensasi atas masifnya usaha sawit di Indonesia. Dengan potensi resistensi sosial terhadap masyarakat lokal di sekitar perkebunan. Khususnya kala perusahaan perkebunan memasuki lahan garap masyarakat.
Masih banyak masyarakat lokal, adat, ataupun suku, di berbagai daerah yang menggantungkan hidupnya melalui hasil hutan. Apalagi ketika sebuah perusahaan besar hadir ke ruang sosial ekonomi masyarakat. Konflik agraria pun kiranya dapat mengemuka.
Seperti yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah dan Kutai, Kalimantan Timur, belakangan ini. Unjuk rasa ribuan petani lokal yang menuntut lahan plasma di Seruyan justru berakhir dengan bentrokan. Sedangkan di Kutai, konflik sampai melibatkan tiga desa lokal.
Pun seperti yang pernah dialami suku Anak Dalam di Tebing Tinggi, Sumatera Selatan. Polemik atas lahan plasma, disebutkan justru merugikan masyarakat adat setempat. Lantaran lahan penghidupan atas tanahnya, telah diambil alih oleh perusahaan sawit.
Kasus yang dialami suku Anak Dalam seperti ungkap Mongabay, adalah satu dari ratusan konflik agraria atas hak lahan plasma. Dimana kewajiban suatu perusahan dalam memberi lahan garap bagi masyarakat ini memang diatur melalui UU 39/2014 Pasal 58.
"Bahwa perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha, wajib memfasilitasi pembangunan perkebunan masyarakat. Paling rendah sebesar 20 persen dari luas area kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan".
Ada semacam kewajiban yang memang menjadi hak masyarakat lokal untuk mendapatkan keuntungan dari perkebunan. Walau fakta menyebutkan, masih banyak perusahaan perkebunan yang tidak menjalankan kewajiban tersebut.
Bahkan di antaranya, justru memantik reaksi konflik dari masyarakat yang merasa hak hidupnya terampas oleh perusahaan. Kiranya tidak luput dari peran pemerintah setempat, jika sudah berkaitan dengan persoalan lahan plasma.