Perhelatan Pemilu tahun 2019 silam, wacana perihal reforma agraria memang menjadi jargon yang menggiurkan bagi masyarakat akar rumput. Tak lain kerena persoalan kepemilikan tanah/lahan, masih menjadi ruang resistensi yang kerap menuai konflik.
Pun demikian kiranya, jelang Pemilu 2024 mendatang. Persoalan reforma agraria yang tak kunjung tuntas, menjadi faktor utama sikap apolitik konstituen akar rumput yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan hutan.
Inilah muasal terjadinya berbagai konflik atas tanah/lahan yang marak terjadi belakangan ini. Khususnya terkait tidak jelasnya aturan dan tata kelola, baik dalam urusan legalitas ataupun status kepemilikannya. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan investasi.
Bukan sekedar memberi ruang konflik dengan masyarakat arus bawah. Melainkan bersama dengan kebijakan publik, yang sarat dengan berbagai kepentingan. Tanpa memberi daya dukung sosial dalam upaya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Walau ada payung hukum yang mengaturnya. Berbagai benturan kebijakan pada akhirnya bermuara pada pihak masyarakat yang dirugikan. Dengan atau tanpa ruang komunikasi terbuka untuk mengurai ekses negatif karenanya.
Ada semacam upaya politis untuk tetap mempertahankan status kepemilikan tanah/lahan, sesuai dengan kepentingan jangka panjang. Maka wajar, jika kemudian terjadi konflik agraria atas status lahan garap yang bertahun-tahun telah "ditelantarkan".
Hak guna lahan, atau hak pengelolaan lahan menjadi sumber penghidupan rakyat, kiranya tidak lagi berorientasi pada keberpihakan kemandirian ekonomi. Melainkan mengarah kepada peluang investasi yang lebih besar memberi daya dukung secara ekonomi.
Narasi reforma agraria ini kiranya jadi tantangan besar bagi para bacapres. Khususnya kala bacapres bicara gagasan bagi masa depan bangsa kemudian hari. Bukan sekedar memberi janji politis, yang berorientasi demi mendulang suara dari para konstituennya saja.
Tanpa ada terobosan baru yang realistis untuk dapat diterapkan kelak. Hal ini tentu menjadi harapan bagi masyarakat arus bawah. Tak terkecuali dalam memberi konsepsi besar bertema negara agraris ditengah era industri 4.0.
Dimana sejauh ini, belum ada gagasan yang realistik dari para bacapres perihal reforma agraria. Dialog terbuka yang sempat dibuka di kalangan akademi pun terbatas pada upaya mitigasi konflik. Tanpa ada rasionalisasi dalam proses penerapannya di lapangan.