Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Konflik Agraria yang Tak Kunjung Sirna

Diperbarui: 12 September 2023   05:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi aksi konflik agraria (sumber: kompas.com/YULVIANUS HARJONO)

Konflik agraria yang ramai diperbincangkan saat ini, tentu tak luput dari pengaruh kebijakan publik yang diterapkan oleh Pemerintah. Dengan berbagai macam agenda, yang kerap dikategorikan sebagai perampasan hak hidup masyarakat. Dalam pandangan umumnya adalah perihal kepemilikan lahan atau upaya alih fungsi lahan dengan maksud tertentu.

Tergantung pandangannya masing-masing pihak. Atas dasar perbedaan cara pandang tersebutlah, konflik agraria kerap mengemuka. Pun sejak Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pertama kali diteken oleh Pemerintah pada tahun 1960. Yakni melalui Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960, tentang Aturan Pokok Dasar-Dasar Agraria, pasca peralihan kekuasaan Belanda ke Indonesia.

Tujuannya tak lain adalah kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan serta keadilan bagi masyarakat. Terutama bagi kalangan tani dan rakyat jelata dengan kepemilikan lahan yang terbatas. Walau UU tersebut sudah dianggap tidak berlaku lagi lantaran dianggap tumpang tindih dengan UU lainnya, dasar kesejahteraan kiranya masih dapat menjadi orientasi bersamanya.

Apalagi jika kepemilikan lahan diketahui merupakan area adat yang dikenal sebagai tanah ulayat. Maka kelak akan ada peralihan dasar kepemilikan yang dapat dipergunakan untuk kepentingan bersama (warga). Lain hal dalam upaya kesejahteraan rakyat, bahwa UUPA masih relevan selama kebutuhan terkait hajat hidup orang banyak menjadi prioritasnya.

Walau persinggungan kemudian biasanya terjadi akibat adanya kebijakan yang berkaitan dengan perubahan hak guna lahan. Tak luput perihal hadirnya UU Penanaman Modal, yang tengah menjadi prioritas utama Pemerintah dari tahun ke tahun. Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, kiranya konflik agraria masih kerap terjadi dimana-mana.

Bukan hanya memantik reaksi sosial, bahkan beberapa diantaranya pernah menjadi upaya pemberontakan di tahun 1964-1965. Terlebih kala kebijakan masa Orde Baru dengan membuka ruang bagi investor asing, yang kala itu memantik terjadinya reaksi sosial. Melalui peristiwa Malari, yang meletus pada tahun 1974.

Berikut pula konflik-konflik agraria yang terjadi selama kurun waktu tertentu, seputar tahun 1975-1990. Baik di Jawa, Sulawesi, dan bahkan Sumatera, yang biasanya terjadi lantaran benturan dengan kebijakan Pemerintah kala itu. Apalagi dengan upaya pembangunan dalam berbagai sektor. Termasuk dengan kepentingan investasi, yang penting bagi perekonomian bangsa.

Pun demikian dengan konflik agraria yang mengemuka pasca Reformasi 1998. Dimana konteksnya lebih luas, dalam upaya penerapan berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan hak guna lahan rakyat. Walau dengan tujuan yang lebih besar, yakni optimalisasi perekonomian bangsa. Namun, persoalan proses konflik atas lahan kerap diwarnai dengan aksi kekerasan.

Pelibatan unsur aparat pemerintah pun kiranya sejak dahulu selalu dalam posisi saling berhadapan. Bukan dalam fungsionalnya demi tercapainya win win solution atau dengan pendekatan yang humanis. Maka wajar, jika kemudian berkembang pandangan bahwa aparat pemerintah hanya sebagai "alat" kekuasaan demi kepentingan pemodal (investor).

Realitas yang kiranya sejak masa Orde Lama pun terjadi atas perihal kepemilikan lahan. Tak luput pelibatan ormas yang dahulu lebih proyektif terhadap kepentingan partai tertentu. Seperti BTI yang berafiliasi dengan PKI. Pun di masa Orde Baru, dengan pola sama namun lebih reaktif dalam penanganannya. Dimana kini hal serupa masih saja terjadi, dengan beragam argumentasinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline