Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fokker

TERVERIFIKASI

Pegiat Sosial

Nasionalisme vis a vis Post-Nasionalisme

Diperbarui: 16 Agustus 2023   05:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HUT RI ke 78 (sumber: dokpri edited by canva)

Narasi ini kiranya dapat jadi penghantar peringatan HUT Republik Indonesia ke 78. Rasa cinta tanah air yang diwujudkan dalam wujud nasionalisme, kini bukan lagi sekedar memaknai simbol negara. Melainkan perihal laku dan perbuatan yang berkaitan dengan konsepsi cinta tanah air.

Seiring perkembangan masa, ada beberapa aspek yang kemudian tampil sebagai tantangannya. Dimana dominasinya ada dalam sektor sosial-budaya dan teknologi. Dua area yang dianggap memberi ruang bias persepsi terhadap artikulasi dan pengejawantahan nasionalisme sebagai pandangan hidup.

Area sosial-budaya dan teknologi ini sendiri memang menjadi arena terbuka bagi masuknya persepsi post-nasionalisme. Faktor utamanya diantaranya adalah terdistorsinya budaya lokal dengan budaya baru terhadap pola perilaku sosial. Selain ruang teknologi yang justru dijadikan area publikasi secara luas.

Inilah mengapa, nasionalisme kini tengah berada dalam posisi saling berhadapan dengan post-nasionalisme. Bias pemahaman bagi konsep cinta tanah air, tak lagi jadi prioritas bagi generasi muda. Seperti dalam tinjauan data perihal tren jumlah pengunjung cagar budaya yang dikatakan terus menurun per tahun 2021.

Bukan soal masa pasca pandemi, melainkan bias penanaman nasionalisme dalam ruang-ruang publik. Ruang sosial yang dominan kini lebih mengarah pada orientasi konten kreator. Tanpa mampu memberi ruang pada identitas bangsanya, walau tidak sepenuhnya pendapat ini benar.

Namun, secara umum, kecenderungan relasi sosial yang terbangun hanya berdasar melalui budaya trendi. Semisal demam K-Pop,, yang berkembang menjadi realitas sosial generasi muda kebanyakan. Termasuk dalam hal perilaku dan kebiasaan sosial dalam hubungan antar personal. Secara faktual, realitas inilah yang makin memperkuat hadirnya post-nasionalisme.

Indikator lainnya ada dalam sektor pendidikan. Tak lain karena kebijakan pengurangan jam ajar sejarah dalam setiap kegiatan belajar. Wajar, jika kemudian generasi muda tidak kenal bagaimana perjuangan Pangeran Diponegoro dalam siasah Perang Jawa melawan Belanda. Lantaran menanamkan rasa nasionalisme selalu terikat dengan sejarah sebuah bangsa.

Jadi, rasa bangga akan tanah air hanya tampak pada sikap seremonial kala gelar peringatan 17 Agustus. Bukan berangkat dari rasa cintanya terhadap bangsa, seperti ungkapan "Jas Merah" atau Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bahwa bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Kiranya demikian, maksud dari nasionalisme yang dikemukakan oleh Soekarno.

Dari rasa bangga atas perjuangan pahlawan bangsa, disitulah muncul semangat cinta tanah air. Sependapat dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Moh. Hatta. Mengenal masa lalu bangsanya, sama halnya dengan mencintai bangsanya lebih dalam. Dari dua pernyataan tersebut kiranya sudah lengkap bagaimana menterjemahkan nasionalisme dalam wujud yang kongkrit.

Selain dari upaya menghadapi masifnya post-nasionalisme dalam realitas kontemporer. Kiranya ada kebijakan yang memberi akses bagi optimalisasi nasionalisme secara komprehensif. Khususnya bagi generasi muda, yang rentan dalam ruang distorsi ideologis. Tentunya agar pengalaman nilai nasionalisme tidak sebatas seremonial belaka, yang tampak pada event-event tertentu saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline